Yogyakarta, 12 Maret 2018 – Membangun ruang yang inklusi seharusnya menjadi kesadaran bersama mengingat kita hidup di dalam masyarakat yang beragam. Dalam membangun ruang yang ramah bagi semua kalangan, maka perlu adanya kemauan untuk saling memahami kebutuhan satu sama lain dan bagaimana cara memenuhinya. Untuk itu, Youth Studies Centre Fisipol UGM pada hari Selasa, 12 Maret 2019 mengadakan diskusi bulanan yang dikemas ke dalam acara Bincang Muda bertajuk “Geliat Perempuan Muda Marjinal Menggugat Keterbatasan Ruang Ekspresi”. Sesuai dengan judulnya,diskusi kali ini menghadirkan tiga pembicara perempuan yaitu Dea Safira Basori, Nuning Suryatiningsih dan Jessica Ayu Lesmana yang memiliki latar belakang pengalaman berbeda dalam menyuarakan hak-haknya.
Nuning, ketua Yayasan Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disabilities (CIQAL) menuturkan bahwa di Yogyakarta yang diklaim sebagai kota Inklusif saja kaum difabel merasa belum sepenuhnya mendapatkan fasilitas yang layak di ruang publik. Selain itu, Nuning juga menyayangkan kebijakan pemerintah bagi difabel dalam hal pekerjaan, “memang saat ini perusahaan-perusahaan sudah membuka peluang lebar-lebar untuk difabel, namun kualifikasinya tinggi, sedangkan penyiapan tenaga kerja tidak maksimal, akhirnya lagi-lagi kami tertinggal.”
Selain itu, Nuning mengatakan jika penyandang disabilitas adalah perempuan, maka ia mendapatkan multi diskriminasi, terlebih dalam kasus pelecehan seksual terhadap perempuan difabel. Dalam kasus tersebut seringkali para korban takut untuk melapor karena belum optimalnya dukungan hukum untuk kaum difabel. Nuning menyampaikan data yang dimiliki CIQAL mengenai kasus kekerasan seksual di DIY selama empat tahun terakhir bahhwa dari 126 kasus, hanya 7 kasus yang sampai ke pengadilan, sisanya berakhir damai. Bagi Nuning fasilitas ruang publik yang tidak optimal, kebijakan yang tidak tepat sasaran serta hukum yang tidak berpihak pada kaum difabel bagi kaum difabel dikarenakan kegagalan pembuat kebijakan dalam memahami kaum difabel. Pada kenyataannya, dalam membuat kebijakan untuk kaum difabel, justru tidak melibatkan kaum difabel itu sendiri.
Ketidak mampuan masyarakat dalam memahami perbedaan juga turut disampaikan oleh Jessica, aktivis transpuan. Menurutnya, kegagalan memahami transpuan adalah akar dari tindakan bullying yang sering diterima oleh transpuan. Keluarga seringkali tidak bisa menerima kondisi anggota keluarganya yang transpuan, masyarakat pun menolak, terlebih pemerintah menggolongkan transpuan ke kelompok gelandangan dan pengemis (gepeng), bagi pemerintah pun transpuan dianggap sebagai masalah sosial. Hal ini membuat para transpuan merasa terenggut hak-haknya. Kkegagalan memahami transpuan berujung tidak hanya pada tindakan olok-olok dari masyarakat, namun juga berujung pada transpuan yang putus sekolah lalu memutuskan menjadi pengamen atau pekerja seks komersial karena himpitan ekonomi.
Bagi Jessica, untuk memahami transpuan penting bagi masyarakat mempelajari ilmu Seksualitas, Orientasi, Gender, Identitas dan Ekspresi (SOGIE). Dengan memahami ilmu SOGIE, maka transpuan dan berbagai pihan gender dan orientasi seksual bukan hal yang dianggap anneh di masyarakat. Menurut Jessica, masyarakat mampu mengerti kebutuhan transpuan saja sudah cukup, sehingga transpuan bisa berekspresi sama seperti cis gender lainnya.
Senada dengan Nuning dan Jessica, Dea Safira yang merupakan aktivis feminis multimedia mengatakan bahwa perempuan sudah lama terepresi oleh budaya patriarki. Budaya patriarki memenuhi segala ruang termasuk di media massa, ia memberi contoh berbagai hedline di media massa online yang narasinya menyudutkan perempuan. Maka dari itu, untuk melawan budaya yang menindas, perempuan perlu menuliskan narasinya sendiri yang berangkat dari pengalamannya sebagai perempuan. Hingga saat ini sudah banyak media alternatif yang digunakan oleh aktivis feminis, seperti instagram, youtube, website, podcast hingga zine.
Dengan adanya diskusi yang membahas mengenai ruang inklusi seperti ini, ketiga pembicara berharap agar masyarakat mampu lebih memahami keragaman masyarakat di sekitarnya, kebutuhannya serta bagaimana cara memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu, Jessica menambahkan bahwa ia berharap ada pendidikan yang setara untuk kaum transpuan agar ke depannya mereka memiliki kesempatan yang sama seperti masyarakat lainnya. Ketiga pembicara sepakat bahwa proses memahami adalah proses agar masyarakat bisa lebih bijak dalam menghadapi keberagaman.
Reporter: Ge Tilotama
Editor: Farid Ali Syahbana
Photo: Rizky Yoga