Upaya Memahami Keberagaman untuk Membangun Ruang Inklusif
May 23, 2018Pekerja Seks Bukan Budak: Ironi Perjuangan Melawan Kekerasan Di Lingkungan Prostitusi
December 16, 2019Yogyakarta 9 April 2019 – Dalam rangka menyambut pesta demokrasi, Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan Umum Legislatif 2019 banyak yang mendiskusikan bagaimana menjadi pemilih cerdas, mulai dari menghadapi hoax hingga menanggapi aksi golput. Tensi di masyarakat sendiri membuat masyarakat terbagi menjadi setikanya menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pendukung pasangan calon (paslon) Jokowi-Ma’ruf Amin, pendukung paslon Prabowo-Sandi dan kelompok yang memilih untuk golput. Berbagai diskursus yang bergulir di masyarakat seakan terlalu larut dalam pesta demokrasi yang dilangsungkan dalam satu hari, 17 April mendatang, seakan luput mendiskusikan bagaimana partisipasi masyarakat terutama pemuda dalam mengawal politik Indonesia dan pasca pemilu?
Menanggapi kegelisahan tersebut, Youth Studies Centre (YouSure) FISIPOL UGM mengadakan Bincang Muda bertajuk “Pemuda dan Politik: Mengawal Pemilu 2019 dan Sesudahnya” dengan menghadirkan tiga pembicara dari latar belakang yang berbeda, yaitu Sabrang “Noe” Mowo Damar Panuluh, Gendis Syari Widodari dan Wisnu Prasetya Utama. Selain itu, hadir pula Organisasi Mahasiswa Intra dan Ekstra Kampus yang menjadi panelis dalam diskusi ini, yaitu Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) FISIPOL, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI).
Menurut Wisnu Prasetya Utama, dosen Departemen Komunikasi Universitas Gadjah Mada, dalam momen pemilu ini kita perlu melihat fenomena golput di kalangan anak muda sebagai ekspresi politik yang tidak terfasilitasi oleh media. “Fenomena golput karena tidak adanya ruang bagi anak muda untuk mengekspresikan aspirasi politiknya. Lalu kita tidak melihat mengapa golput, yang kita lihat adalah banyak elit politik yang kemudian menyerang golput. Misal Romo Magnis menyerang golput dengan kata-kata yang kasar seperti stupid, kelainan mental. Ketika kemudian media memberi ruang yang sangat lebar kepada omongan elit semacam itu, kita tidak diajarkan untuk mendiskusikan mengapa ada orang yang protes? Menurut saya bukan soal golputnya, tapi ada anak muda yang punya ekspresi politik dan tidak terpolarisasikan kepada dua paslon yang makin ekstrem,” papar Wisnu ketika menanggapi maraknya gerakan golput yang ramai dibincangkan di media sosial di kalangan anak muda.
Wisnu juga menyayangkan banyak elit yang memanfaatkan partisipasi anak muda hanya sebagai ceruk elektoral. Tidak ada bahasan dari para elit mengenai anak muda secara programatik, baik itu pada elit tua mau pun muda. Hal yang sama diamini Gendis, pembicara dari YouSure, bahwa seringkali para elit berlomba-lomba untuk menjadi paling millennial, sedangkan mengabaikan partisipasi anak muda secara penuh. Dalam situasi politik seperti ini, menurut Gendis anak muda tidak diberi kesempatan untuk memilih, melainkan dipaksa untuk memilih dan memiliki juru selamat yang menentukan masa depannya.
“Sekarang pilhannya ada dua: mencari eksistensi dengan mengaku, ‘aku sudah gerak’, atau kita benar-benar mau melakukan transformasi kebijakan ketika ada yang salah,” ujar Gendis ketika membicarakan peran anak muda dalam berdemokrasi. Bagi Gendis, peran anak muda adala menentukan agenda setting, dimana tidak lagi menitikkan isu pada aktor. Ketika anak muda tidak lagi menitikkan isu pada aktor, maka relasi patron-klien yang sudah mendarah daging bisa mulai dihilangkan, sehingga gerakan anak muda yang bersifat ekstra parlementer bisa kembali diharapkan untuk mengawal kebijakan elit.
Merespon pendapat Gendis, agar dalam berpolitik anak muda tidak terfokus pada aktor maka perlu terlebih dahulu mengetahui tujuan yang ingin dicapai dalam berdemokrasi. Dengan mengetahui tujuan yang ingin dicapai, kita bisa memilih pemimpin yang sesuai dengan tujuan yang sudah dirancang sebelumnya. Sabrang menganalogikan memilih pemimpin dengan memilih bus ketika sedang berpergian, “ibaratnya ketika kita hendak memilih bus, apakah kita memilih berdasarkan sopirnya? Tentu kita memilih berdasarkan trayeknya, tujuannya. Namun, dalam proses kita berdemokrasi melalui pemilihan presiden ini, apakah pernah kita membahas tujuan dari dua belah pihak? Yang ada hanya kampanye sopir.” Untuk itu, ia menghadirkan aplikasi Pantau Bersama yang memungkinkan penggunanya untuk memantau Pemilu 2019. Salah satu fitur yang menarik di aplikasi ini adalah Understanding over Branding yang membantu memahami kecenderungan pilihan politik para pengguna jika didasarkan pada wacana yang ditawarkan oleh masing-masing calon pemimpin.
Diskusi kali ini menjadi momen reflektif bagi anak muda dalam berpolitik. “Diskusi HMI mengenai anak muda pun jauh dari bahasan mengenai politik elektoral. Jadi, kalau ditanya apakah mereka (para elit politik nasional) sudah mengakomodasi kepentingan anak muda atau belum? Sebenarnya kami pun tidak mengakomodasi itu,” papar perwakilan dari Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Sedangkan menurut perwakilan dari GMNI, bahwa anak muda perlu berpikir secara substantif agar tidak hanya dijadikan alat berkampanye dalam politik praktis. Menyambung hal tersebut, perwakilan Dewan Mahasiswa (DEMA) Fisipol mengatakan bahwa anak muda memiliki aspirasi politik yang sangat beragam, jika memang belum terakomodasi, setidakya aspirasi anak muda harus diakui oleh para elit.
Reporter: Ge Tilotama
Photo: Rizky Yoga