Anak Muda Mengawal Pemilu 2019 dan Sesudahnya
March 4, 2019Konsumsi Makna Zero Waste di Kalangan Anak Muda
January 9, 2020Oleh: Magdalena Putri K. dan Nadia Utama
Tanggal 17 Desember dijadikan Hari Berakhirnya Kekerasan pada Pekerja Seks (The Day To End Violence Against Sex Workers). Banyak kelompok dan masyarakat yang merayakan hari tersebut dengan euforia keberhasilan suka cita. Selain itu, tanggal 17 Desember dijadikan momen yang digunakan untuk menyuarakan isu tentang perjuangan hak pekerja seks di penjuru dunia. Sebagaimana pernyataan yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di tahun 2015, pekerja seks (terutama wanita) jauh lebih rentan menjadi korban kekerasan dibandingkan jenis pekerjaan lainnya.
Berawal dari 2 Juni 1975, ketika sekitar 100 pekerja seks jalanan bersatu untuk melakukan perlawanan. Termajinalisasi dan tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari polisi menjadi latar belakang mereka untuk melakukan aksi. Polisi sebagai aparat negara lebih suka melecehkan dan menangkap daripada memecahkan kasus pembunuhan, kejahatan, dan pelecehan yang dialami pekerja seks. Melalui banyak rintangan hingga akhirnya polisi turun tangan untuk penyelidikan kasus kekerasan pada pekerja seks. Aksi tersebut menjadi awal untuk aksi-aksi selanjutnya di wilayah lain. Namun, jika kita lihat hingga saat ini, berita-berita kekerasan terhadap pekerja seks masih marak terjadi di penjuru dunia.
Media daring VICE pada 2015 meliput fenomena ini dalam bentuk video jurnalistik dengan mengambil sudut pandang dari para pekerja seks dari beberapa negara. Prostitusi Bangladesh, menjadi salah satu studi kasus yang banyak menarik perhatian dunia. Dalam video yang berjudul “Sex, Slavery, and Drugs in Bangladesh” mengambil tempat di desa Daulatdia, Bangladesh. Desa ini menjadi salah satu pusat rumah bordil terbesar di dunia dengan jumlah pekerja seks perempuan yang mencapai angka 2000 orang dan melayani kurang lebih 3000 pelanggan tiap hari.
Permasalahan terbesar dari prostitusi ini adalah sebagian besar pekerja seks perempuan di Daulatdia, mengalami berbagai bentuk kekerasan tanpa mereka sadari. Vice mewawancarai Anupa, seorang pekerja seks yang sudah “bekerja” sejak usianya 13 tahun. Kepada Vice, Anupa mengaku bahwa ia acap kali dipukul oleh pelanggan laki-laki. Tidak hanya kekerasan fisik, Anupa juga bercerita ia pernah diperkosa secara massal oleh 10 orang pelanggan lelaki. Ketika bercerita kepada Vice mengenai pengalaman memilukan ini, Anupa tidak menyadari bahwa ia mengalami tindakan kekerasan. Bagi Anupa semua yang dilakukan pelanggan kepadanya adalah bagian dari pekerjaannya.
Sebuah ironi ketika euforia kemunculan pergerakan untuk melawan kekerasan terhadap pekerja seks justru tidak dirasakan oleh korban itu sendiri. Sebagai pusat bordil terbesar di dunia, pekerja seks Bangladesh jauh dari kata edukasi dan literasi. Mereka hanya terbawa oleh narasi yang sudah ditanamkan sejak turun-temurun bahwa pelanggan adalah “raja” di ranjang tanpa menyadari makna pemerkosaan dan kekerasan.
Fenomena yang dijelaskan di atas, hanya satu dari sekian banyak fenomena kekerasan pada pekerja seks di dunia. Itu pun hanya segelintir yang berhasil terekspos oleh media. WHO sendiri menyatakan masih ada ribuan kasus kekerasan di berbagai negara (khususnya negara berkembang) yang tidak terungkap. Indonesia sendiri masih menapaki perjalanan panjang untuk mengangkat isu kekerasan di lingkungan pekerja seks, mengingat prostitusi sendiri merupakan bahasan yang masih dianggap tabu. Stigma pekerja seks yang memetakan mereka sebagai kelompok “pendosa” pun masih kokoh berdiri di perspektif beberapa kelompok masyarakat.
Pada dasarnya semua pekerja seks baik itu perempuan, laki-laki, maupun transgender, adalah manusia pada umumnya. Mereka memiliki hak asasi yang harus diwujudkan dan dilindungi. Pekerja seks merupakan masyarakat sipil. Mereka berhak untuk mendapatkan tempat hidup yang aman. Mereka berhak untuk mendapat perlindungan dari masyarakat bahkan negara.
Peringatan 17 Desember menjadi momen untuk perayaan, namun sekaligus momen untuk bersuara keras untuk menyuarakan hak para pekerja seks yang sering terabaikan. Kekerasan masih merajalela, maka perjuangan belum berhenti.
Referensi
VICE. (2015). Sex, Slavery, and Drugs in Bangladesh. Retrieved from Vice News: https://www.youtube.com/watch?v=jgaltnLfxo8&t=202s
WHO. (2015). Addressing Violence against Sex Workers . Retrieved from World Health Organizations: https://www.who.int/hiv/pub/sti/sex_worker_implementation/swit_chpt2.pdf