Pendidikan Seksual Asyik dengan Bumbu Feminisme Ala Netflix Sex Education
February 21, 2020Senja, Kopi, dan Sedih,” Trend Mengangkat Isu Kesehatan Mental di Lagu Indie Indonesia Saat Ini
February 26, 2020Oleh: Idin Virgi Sabilah
Kesehatan mental adalah isu yang masih hangat dibicarakan, sampai kapanpun. Data dari WHO (2019) mengatakan , setiap tahunnya sekitar 20% anak-anak dan remaja di dunia mengalami gangguan dan permasalahan mental. Kemajuan teknologi saat ini bagaikan dua sisi koin yang berlawanan, ia bisa membuat orang-orang semakin aware dengan permasalahan ini, karena media sosial sebagai medium ekspresi dan menggambarkan aktivitas keseharian. Menjadi oase di kala penat, penghibur diri sendiri. Akan tetapi, disisi lain, memicu orang untuk melakukan hal-hal yang berdampak buruk. Bahkan media sosial memiliki pengaruh yang dipandang buruk terhadap kesehatan mental. Karena apa yang kita serap dari bacaan sehari-hari di internet juga mempengaruhi cara kita bersosial media.
Hal yang juga disoroti terkait kesehatan mental adalah tanggung jawab keuangan (Financial Responsibility). Masa muda adalalah transisi kehidupan yang signifikan dan biasanya ditandai dengan kecemasan terhadap kondisi keuangan. (Archuleta et al., 2013). Penelitian banyak dilakukan dan mengambil topik tentang “Financial Anxiety” Dan permasalahan ini kerap terjadi pada remaja di tahun-tahun mereka kuliah, ada kecemasan setelah lulus tidak memenuhi ekspektasi orang lain, tidak bisa mandiri secara finansial, dan lain sebagainya.
Ada beberapa stereotype yang berkaitan dengan pemuda terkait dengan kondisi finansial mereka. Seperti anak muda yang cenderung boros secara keuangan, tidak mampu menabung, hasrat untuk memenuhi lifestyle kenamaan yang tinggi, hingga pengaruh untuk mencapai taraf hidup tertentu membuat anak muda zaman sekarang seperti dikekang untuk hidup dan membayangkan bagian indahnya saja. Padahal, sebenarnya lifestyle atau gaya hidup seseorang sangat bergantung pada lingkungan tempat ia berada. Kalau seseorang merasa tidak bisa mengikuti lifestyle tertentu, berarti tempat itu bukan diperuntukkan untuknya. Hanya sesederhana itu . Dari gaya hidup yang terkesan memaksa ini, seringkali jumlah pengeluaran kita melebihi kapasitas. Bagai peribahasa Besar Pasak daripada Tiang, dari sinilah muncul Financial Distress karena mereka tidak bisa mengatur keuangannya dengan baik.
Padahal, di era sekarang, saat Indonesia menjadi emerging markets, ada gejolak perubahan yang dinamis seperti perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan teknologi menjadi menarik jika dikaitkan pada pemuda dikarenakan hal inilah yang menjadi sasaran utama pengguna teknologi. Terbukti dengan penetrasi internet penduduk
Indonesia yang mencapai 56% (Kompas, 2019). Namun, angka ini tidak sebanding dengan minimnya literasi keuangan, khususnya kaum muda. Seperti yang diungkapkan dalam CNBC Indonesia, rendahnya tingkat literasi keuangan ini juga dipicu dengan rendahnya kesadaran berinvestasi. Hanya 0,1% masyarakat Indonesia yang berinvestasi pada pasar modal. Dan hanya 2% yang merencanakan dana pensiun. (CNBC, 2019).
Lantas? Bagaimana seharusnya kita bersikap?
Sebagai kaum muda–atau millennial, mereka menyebutnya. Kita berada pada dilema “You Only Live Once” atau “The wise man once said invest young” . Kita bimbang untuk memanfaatkan apapun yang kita punya saat ini, karena tentu saja tidak akan menikmatinya ketika tua nanti, tetapi kita juga memiliki kecemasan karena takut tidak bisa membeli rumah—dengan harga tanah yang semakin melonjak, apalagi UMR Jogja yang tidak selamanya diharapkan ini.
Boleh kita bersenang-senang selagi muda, tetapi harus tetap punya tabungan dan investasi. Tabungan itu sangat penting. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari, entah itu musibah atau apapun itu. Dan tabungan akan selalu menyelamatkan kita pada kondisi-kondisi tersebut. (Mojok, 2019). Hal yang perlu dihindari selagi muda ialah, berhutang. Jangan sampai membuka peluang berhutang selagi kita masih bisa merencanakan. Oleh karena itu, perencanaan keuangan sedini mungkin sangat diperlukan.
Namun, agaknya trend anak muda sekarang bukan lagi menabung. Mereka selalu ingin lebih. Dan beralihlah ke investasi. Benar sekali, permainan saham dan pasar modal terdengar jauh lebih menjanjikan. Saat ini, anak muda lebih percaya mengalokasikan keuangan mereka untuk investasi demi return of investment yang lebih besar. Memang, ini bervariatif dan cenderung untuk jangka panjang, akan tetapi bukankah ini indikasi bahwa anak muda sekarang sudah banyak yang memikirkan masa depan jangka panjangnya?
Kecemasan terhadap kondisi keuangan adalah hal yang sangat wajar di masa transisi remaja kebanyakan. Tuntutan kehidupan menyenangkan di masa depan mau tidak mau memaksa mereka untuk memikirkan perencanaan keuangan yang matang jauh-jauh hari. Sebenarnya tidak banyak alasan untuk merasa cemas terhadap perencanaan keuangan, hanya saja, kita perlu benar-benar merencanakan, bukan sekadar terlintas dalam benak saja .
Referensi Archuleta, K. L., Dale, A., & Spann, S. M. (2013). College students and financial distress: Exploring debt, financial satisfaction, and financial anxiety. Journal of Financial Counseling and Planning. WHO. (2019). Mental Diorder affect one in four people. Diakses dari: https://www.who.int/whr/2001/media_centre/press_release/en/. Kompas. (2019). Penetrasi Internet Indonesia Naik Jadi 56 Persen. Diakses dari https://tekno.kompas.com/read/2019/02/04/11420097/riset-penetrasi-internet-indonesia-naik-jadi-56-persen?page=all.CNBC. (2019). Hai Milenial. Ingin Bebas dari Masalah Finansial? Ini Tipsnya. A youtube Video from: https://www.youtube.com/watch?v=KZ1yX4rLC5k. Published by CNBC Indonesia Mojok.co (2019). Pilihan Antara Ingin Hidup hemat dan Menikmati Hidup. Mojok.co. Diakses dari: https://mojok.co/terminal/pilihan-antara-ingin-hidup-hemat-dan-menikmati-hidup/