Senja, Kopi, dan Sedih,” Trend Mengangkat Isu Kesehatan Mental di Lagu Indie Indonesia Saat Ini
February 26, 2020Perempuan dan Lingkungan Hidup dalam Narasi Perjuangan Kelas
April 10, 2020Oleh: Arya Malik
Eksistensi pemuda erat kaitannya dengan istilah agent of change, dan belum lama ini terma tersebut seakan kembali menggaung di penghujung tahun 2019 silam, saat Berbagai cara ditempuh generasi muda untuk mengaspirasikan keresahan yang muncul, salah satunya seperti pada aksi #GejayanMemanggil. Berawal dari munculnya ruang-ruang diskusi mengenai isu-isu dan kebijakan-kebijakan yang dinilai bermasalah, kemudian berlanjut menjadi tindakan kolektif untuk mengklaim kembali ruang publik. Klaim terhadap ruang publik menjadi upaya membangun wadah bagi masyarakat untuk melibatkan diri dalam proses. Dalam konteks demokrasi, kedaulatan warga negara menjadi suatu hal yang seharusnya direkognisi oleh negara. Hubungannya dengan aksi #GejayanMemanggil, tindakan kolektif tersebut menjadi manifestasi dalam keterlibatan warga negara untuk menentukan kebijakan yang lebih baik untuk rakyat.
Aksi #GejayanMemanggil I berlangsung pada 23 September 2019, dan seminggu setelahnya, aksi kedua berhasil diselenggarakan. Pada 30 Oktober 2019, aksi demonstrasi #GejayanMemanggil II turut melibatkan mahasiswa, aktivis, buruh, seniman, hingga pelajar. Kemunculan #GejayanMemanggil mendapat respons yang tinggi dari khalayak, aksi ini berhasil melibatkan ribuan orang dalam pelaksanaannya. Respons serupa juga terjadi di media sosial Twitter dan Instagram. Berdasarkan data SNA (Social Network Analysis) Drone Emprit Publication (2019), “#GejayanMemanggil” menjadi trending topic sebanyak 12.500 lebih tweets selama 2 hari di Twitter. Akun Instagram #GejayanMemanggil mendapatkan followers mencapai lebih dari 20.000 followers dalam beberapa minggu.
Aksi demonstrasi yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Rakyat Bergerak ini, memiliki keunikan dari metode pelaksanaannya. Berbeda dengan aksi demonstrasi yang biasanya erat dengan kerusuhan, anarkisme, penjarahan dan lain sebagainya, aksi #GejayanMemanggil justru menjadi salah satu gerakan paling dalam perjalanan bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari keberagaman isu yang diangkat, pluralitas yang terbentuk dalam demografi massa aksi, adanya pertujunkkan seni, dan hal menarik lainnya yang jarang ditemukan dalam aksi demonstrasi di Indonesia. Munculnya aksi #GejayanMemanggil tidak bisa dipisahkan dengan kehadiran generasi muda yang menjadi pelopor dalam merespons serangkaian isu tersebut. Pada titik ini, generasi muda, mengartikulasikan perannya melalui cara-cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Pemuda seringkali dikonstruksikan sebagai harapan bangsa di masa yang akan datang. Di sisi lain, pemuda hari ini atau sering disebut sebagai generasi milenial, harus berhadapan dengan stereotip yang menganggap generasi milenial cenderung abai terhadap kondisi bangsa saat ini. Munculnya stereotip tersebut, bukan semata-mata hadir sebagai keniscayaan yang turun begitu saja dari langit. Akan tetapi, gap antar generasi yang menjadi pemantik terbentuknya anggapan-anggapan yang justru kehadiran pemuda sebagai subjek utuh dalam tatanan berwarganegara. Kaum muda selalu dihegemoni oleh oleh nilai-nilai generasi lama, dalam proses internalisasi yang tidak selalu berjalan dengan sempurna, dan menjadikan pemuda berada dalam posisi yang subordinat. Subjek yang “menyimpang” dari upaya dominasi akan mendapat steoretip semena-mena, dan memicu konflik antara subjek-subjek generasi baru dengan struktur dominan generasi sebelumnya.
Kaum muda, muncul sebagai sebuah realita sosial baru yang terkonstruksi di masyarakat, pemuda adalah subjek yang dianggap perlu mendapatkan nilai-nilai terdahulu yang terwariskan secara turun-menurun dan hegemonik secara sosio-cultural-historical di masyarakat. Generasi pemuda, akan dianggap sebagai pihak yang “menyimpang” bila tidak sesuai dengan kepentingan harapan generasi sebelumnya. Stereotip yang cenderung menganggap generasi milenial apatis dan abai terhadap bangsa, terbentuk karena nilai yang diwariskan generasi sebelumnya sudah tidak lagi berlaku dalam konteks yang dihidupi oleh generasi milenial. Generasi pemuda, cenderung memiliki cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Konteks kehidupan pasca reformasi membentuk generasi baru dengan seperangkat karakter yang kemungkinan akan berbeda dengan generasi sebelumnya. Keterkaitan antara generasi muda, resistensi, dan kewarganegaraan, terbentuk karena adanya dominasi dari generasi yang lama dan menghasilkan subordinasi terhadap generasi yang baru, baik secara kultural maupun struktural pada tatanan bernegara. Pemuda akan selalu menjadi subyek yang berada dalam kondisi sui generis, seperti relasi kuasa yang tidak seimbang. Relasi timpang antar generasi ini menghasilkan resistensi dalam bentuk alternative, seperti pada aksi #GejayanMemanggil, yang menjadi artikulasi perjuangan generasi muda dalam menunaikan perannya sebagai warga negara.