Pandemi dan Resiko Pekerja Muda
July 3, 2020YouSure UGM Raih Penghargaan Internasional
August 24, 2020Oleh: Arya Malik
Kondisi yang ditimbulkan oleh situasi pandemi, dapat dianggap menghantam masyarakat secara rata, tak terkecuali dalam lingkup-lingkup kecil layaknya rumah tangga dan keluarga. Situasi pandemi, yang mengharuskan segala aktivitas cenderung dilakukan di rumah, berpotensi menimbulkan toxic relationship dalam interaksi di dalam keluarga. kondisi keluarga di tengah pandemi COVID-19, yang beresiko terdampak perilaku toxic dari masing-masing anggota keluarga, dapat diminimalisir dengan berbagai alternatif serta upaya yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga.
Isna bersama suaminya Mufid, adalah salah satu keluarga muda. Isna beserta Mufid berbagai tentang bagaimana mereka merasakan perbedaan selama pandemi ini berlangsung. Mufid yang biasa bekerja di kantor, kini bekerja dari rumah (Work From Home), dan menjadi bertemu dengan Isna setiap saat. Dalam konteks relasi sebagai suami dan istri, mereka memanfaatkan kondisi tersebut dengan menanggapinya secara positif, seperti berpartisipasi pada program menggalang donasi, membaca buku, belajar hal-hal baru, melakukan aktivitas di rumah bersama-sama.
Isna dan Mufid mengaku bahwa sempat merasakan jenuh karena hal tersebut. Namun, mereka mencoba untuk mencari tahu faktor yang menimbulkan rasa bosan ini, Isna menceritakan sedikit bagaimana mereka bernegosiasi dengan keadaan
“kita analisis kenapa kita bosen, kita sempet bingung karena kita selalu ketemu, atau karena kita ga pernah ketemu orang lain karena ga keluar rumah. Nah kesimpulannya, mungkin dua hal itu yang bikin kita bosen. Kita sepakat untuk ambil space, karena di depan rumah kami ada masjid, suami pergi ke masjid dan saya di rumah. Paling sekitar dua atau tiga jam lah, dan itu udah lumayan ngasih jarak lah, dan pas suami balik ke rumah udah biasa lah, udah ga bosen juga..”.
Mengambil jarak, saling mengkomunikasikan keresahan, dan saling memberi pengertian, menjadi jalan keluar yang diambil oleh Isna dan Mufid.
Di samping itu, Ferdi Arifin, selaku ketua IMAOS.ID, menjelaskan tentang Toxic Relationship dalam keluarga ketika pandemi. Menurutnya, Toxic Relationship itu dapat terjadi di luar kondisi pandemi, seperti finansial planning yang tidak tepat, kurangnya keterbukaan dan komunikasi sehingga lebih mudah emosi dan kurang harmonis, serta kurang jelasnya pembagian antar anggota keluarga. Namun, memang dampaknya akan lebih terasa di saat pandemi berlangsung, terutama bagi keluarga yang sudah memiliki anak. Seperti aktivitas anak yang bersekolah dari rumah atau Study From Home, mungkin akan cukup merepotkan bagi orang tua yang sama-sama bekerja, dan karena pandemi juga harus bekerja dari rumah. Karena orang tua mau tidak mau harus mendampingi anak selama belajar di rumah. Ditambah dengan kenyataan, Work From Home sendiri, yang tidak berjalan dengan optimal. Menurut Ferdi, di saat pekerjaan seseorang itu terganggu, seperti masalah internet dan sebagainya, cenderung dapat meningkatkan tempramen, dan orang di sekitarnya sangat mungkin terdampak. Ferdi juga menambahkan,
“bekerja itu adalah salah satu bentuk Me Time bagi sebagian orang, dengan mengaktualisasikan diri lewat bekerja. Cuma, kalo misalkan bekerja di rumah dan ketemu dengan istri dan anak, lagi dan lagi, akan ada titik jenuh, dan kalo ke senggol dikit itu bisa meluap. Meskipun balik lagi ke karakter masing-masing orang”.
Selaras dengan Isna dan Mufid, menurut Ferdi alternatif untuk menghidnari Toxic Relationship, adalah meningkatkan komunikasi dalam hubungan rumah tangga, karena dapat membuka ruang untuk menyampaikan pikiran, mengungkapkan perasaan, dan menegosiasikan ego dan kepentingan masing-masing individu. Hal ini sangat diperlukan, karena keterbukaan adalah kunci dari keharmonisan dalam berumahtangga. Berbagi peranan untuk setiap anggota keluarga, dalam konteks berkomunikasi, sangat mungkin terjadi miskomunikasi pada prosesnya. Hal ini dapat diminimalisir dengan cara berkomunikasi secara baik dan bijak. Selain itu, penting untuk membentuk dan kemudian menghargai kesepakatan dari masing-masing anggota keluarga, sehingga proses negosasi, kompromi, dan toleransi, dapat berjalan baik dan menguatkan keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga.