YouSure UGM Raih Penghargaan Internasional
August 24, 2020Kilas: Usaha Mempertahankan Tenun Hasil Tangan Ibu-Ibu Dusun Sejatidesa, Moyudan
December 5, 2020Oleh: Arya Malik
Dinamika dari sebuah relasi interpersonal, menjadi realita yang dihadapi oleh tiap-tiap manusia sebagai makhluk sosial. Layaknya relasi romantis, menjadi keniscayaan yang mewarnai kehidupan sosial dari kalangan muda. Dalam perkembangan zaman yang semakin kompleks dengan hadirnya digitalisasi dan berbagai bentuk kemajuan teknologi, kehidupan romantis dari kalangan muda turut berpacu dalam ruang-ruang kontemporer dewasa ini. Tidak jarang dalam sebuah relasi romantis muncul kompleksitas-kompleksitas yang terkadang menimbulkan resiko dan kerentanan bagi sebuah hubungan. Pada titik ini, menjadi menarik untuk membuka ruang percakapan yang lebih kaya, untuk menakar kembali bagaimana kompleksitas tersebut bekerja dalam dinamika relasi romantis yang dilalui oleh kalangan muda. Dalam membahas hal tersebut, melihat kembali perbedaan intepretasi antar subjek pada sebuah hubungan, dapat menjadi pendahuluan untuk membuka diskursus mengenai relasi romanits pada anak muda.
Desintha adalah salah seorang dosen Sosiologi di Universitas Gadjah Mada, dirinya membuka pembahasan mengenai relasi interpersonal anak muda. Menurutnya, “terdapat perbedaan imajinasi terkait makna yang menjadi interpretasi saat menjadi anak muda, menjadi remaja, atau mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan”. Seperti perempuan pada zaman yang memiliki orientasi lebih pada pendidikan, dan memiliki mobilitas yang berbeda. Sehingga, memiliki pacar ini menjadi konstruksi untuk diakui sebagai perempuan. Sementara pada laki-laki, menurutnya maskulinitas dalam konteks Indonesia cenderung punya banyak diskursus tetang heterosexualitas. Padahal, maskulinitas itu tidak hanya seputar heterosexuality, namun tidak ada pendidikan tentang bagaimana menjadi laki-laki yang beyond dari patriarchal masculinity. Maskulinitas dalam konteks Indonesia ada dalam bayang-bayang imajinasi patriotik, fatherhood, narasi-narasi bahwa laki-laki itu harus fighting, hal ini terbawa dalam konteks seksual dimana imajinasi maskulinitas masih seperti itu. Sedangkan perempuan cenderung tertahan dengan narasi-narasi normatif, untuk mengekspresikan identitasnya sebagai perempuan
Lebih lanjut, dewasa ini era informasi memungkinkan relasi dapat terjalin secara daring. Kenyataan ini memunculkan perubahan realitas dalam relasi romantis kalangan muda. Indigo, sebagai salah satu perwakilan dari Komunitas Reprodukasi, menjelaskan bagaimana pengalamannya di Melbourne, mendapati bahwa anak muda merasakan insecurity seperti dalam hubungan tanpa status yang tidak jelas. Jennifer, perwakilan dari Seribu Tujuan, berpendapat bahwa online dating dan sebagainya, memudahkan seseorang untuk menjalankan hubungan yang ‘seperti’ pacaran. Menurut Desintha online dating ini menjadi sebuah alternatif, yang dalam perjalanannya berbagai macam relasi tidak equal akan tetap berlanjut di platform online, “ruangnya saja yang berbeda tapi kasusnya akan tetap sama”. Hal ini berhubungan dengan kepentingan laki-laki dan perempuan yang berbeda, antara apa yang diinginkan oleh perempuan dengan apa yang diimajinasikan oleh laki-laki, memiliki perbedaan dalam intepretasi subjektifnya.
Di samping itu, terdapat beberapa sudut pandang yang dapat digunakan dalam melihat kompleksitas relasi. Menurut Desintha, “secara sosiologis self itu dibentuk dari interaksi. Seperti perempuan, identitas ini dibentuk dari interaksi, dari pengalaman yang dilalui, ketika perempuan melakukan relasi interpersonal, dengan berpacaran, dia akan menemukan bahwa “oh saya ini perempuan yang sudah dewasa”, “oh saya punya desire yang seperti ini”, apabila tidak memiliki pengalaman seperti itu, dia tidak bisa mendefinisikan dirinya, pengalamannya itu menunjukkan pembentukan diri yang seperti apa.” Secara psikologis, Indigo berpendapat bahwa “pada dasarnya, sebagai makhluk sosial manusia memiliki kebutuhan atas relationship, dan manfaatnya sebagainya safety net yang perlu dipenuhi dalam kehidupan sosialnya.” Sedangkan secara biologis, Jennifer menjelaskan tentang kompleksitas relasi anak muda, yang berhubungan dengan resiko kesehatan reproduksi dari hubungan seksual, seperti IMS atau infeksi menular seksual.
Berhubungan dengan itu, problema terkait kerentanan atau resiko dari relasi anak muda, menurut Desintha, “relasi itu mempertemukan indivdu-individu dengan basic expreience, knowledge dan culture yang berbeda, orang berinteraksi dengan orang lain karena ada kepentingan, perilaku-perilaku sosial yang ditunjukan itu punya basis kepentingan, seperti relationship misalnya yang menjadi salah satu media, problemnya adalah, dalam prespektif gender, laki-laki dan perempuan memiliki relasi kuasa yang timpang, ada problem dominasi yang kemudian akan beresiko pada relasi-relasi yang tidak equal dan rentan.” Relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan menjadi bentuk resiko dan kerentanan dalam relasi anak muda, hal ini berkaitan dengan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi di Indonesia. Desintha menjelaskan bahwa edukasi seks di Indonesia itu beragam, sporadis, pendekatannya berbasis moral atau abstinens, dan terkait dengan tabu.
Terdapat gap yang belum cukup diartikulasikan, gap yang berbeda atas pemaknaan laki-laki dan perempuan tentang seks, akibat kontruksi sosial yang timpang antara laki-laki dan perempuan, kontruksi tabu tentang seks, dan pola pengasuhan keluarga. Selain itu, menurut Indigo terdapat beberapa faktor yang menjadi resiko dalam sebuah relasi interpersonal, seperti problem daddy/mommy issues sebagai impuls tidak sadar karena hubungan yang tidak sempurna dengan ayah atau ibu, self-esteem issues, yang merupakan rasa tidak percaya diri, atau tidak menganggap bahwa dirinya ‘cukup’. Hal ini dapat mempengaruhi relasi menjadi tidak sehat. Hubungan yang sehat, menurut Desintha, parameternya adalah tidak ada yang terintimidasi, karena dalam konteks berpacaran, dari perspektif gender dan seksualitas, itu membutuhkan pengetahuan, kesadaran dan juga kecakapan. Indigo menambahkan tentang hubungan yang sehat memerlukan kepercayaan, respek dan pengetahuan. Sementara Jennifer, turut melengkapi dengan memberikan pandangan bahwa dalam hubungan yang sehat, antara pasangan harus saling supportif, saling mengkomunikasikan, dan saling berkompromi.