Kilas: Usaha Mempertahankan Tenun Hasil Tangan Ibu-Ibu Dusun Sejatidesa, Moyudan
December 5, 2020Growing up as a Chinese-Australian: My funny moments
December 15, 2020Oleh:
Arya Malik
Yosephine Lucky Sekarlangit
Lalita Anindya
Realita Pendidikan sebagai Dimensi Pengetahuan mengenai HAM
Lahirnya generasi-generasi baru, yang menghidupi konteks di mana mereka tumbuh dalam perkembangan zaman dan tercetusnya ragam perubahan sosial, seiring perjalanannya akan menemui kesadaran mengenai hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai manusia. Mengenai hal tersebut, sedikit banyak dari kita mungkin pernah mendengar atau membicarakan tentang hak asasi manusia atau yang dikenal dengan HAM. Secara sederhana, HAM dapat dipahami sebagai hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir, mulai dari hak untuk hidup, hak untuk dihargai dan dihormati sebagai manusia, yang kemudian berkembang menjadi hak-hak lainnya saat seseorang menjalani kehidupannya sebagai bagian dari masyarakat.
Pemahaman mengenai HAM merupakan bagian dari diskursus pengetahuan, yang bekerja dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan ini dapat menjadi basis yang fundamental bagi setiap manusia untuk berinteraksi satu sama lain, dan memungkinkan terbentuknya peradaban yang memanusiakan manusia. Hal ini berhubungan dengan nilai-nilai HAM yang menjaga martabat manusia untuk saling menghormati saat hidup berdampingan secara damai, setara, tanpa memandang latar belakang etnis, gender, ras, maupun kelas, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai sesama manusia.
Kesadaran diri seseorang terhadap seperangkat hak dan kewajibannya sebagai manusia, dapat dilihat sebagai hasil dari proses pemahaman yang berlangsung selama hidupnya. Proses di mana seseorang menemukan pengetahuan tentang HAM sangatlah penting, karena berhubungan dengan pengetahuan seseorang untuk memahami haknya dan juga hak orang lain. Dalam proses tersebut, diperlukan medium yang mendasarinya, salah satunya melalui pendidikan. Di samping itu, pendidikan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang telah diterima secara luas, seperti dalam publikasi Deklarasi HAM 1948 dan Deklarasi UNESCO 1990, tentang pendidikan untuk semua (Jaramillo, N. E., dkk, 2012). Pada pasal 31 UUD 1945 amandemen, di mana ayat 1 berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, sedangkan ayat 2 “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Legitimasi HAM juga tertuang dalam ranah pendidikan nasional melalui UU No 20 Tahun 2003, Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Pertemuan antara pendidikan dan HAM menjadi begitu penting, menurut Tilaar (2001), untuk meningkatan kesadaran, pengakuan, penghargaan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan nyata sehari-hari individu dan masyarakat Indonesia dalam jangka waktu panjang, salah satu langkah awal yang perlu dilakukan adalah menelaah sejauh mana dimensi-dimensi HAM diadopsi, diintegrasikan dan direalisasikan dalam sistem pendidikan nasional kita (Tilaar, H. A. R., dkk, 2001).
Pada titik ini, korelasi antara pendidikan dengan pengetahuan mengenai HAM dapat dianggap sebagai proses yang seharusnya berkesinambungan. Namun, realita pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya dapat mengimplementasikan secara nyata tentang ‘pendidikan untuk semua’. Kesenjangan dalam akses pendidikan masih terjadi di Indonesia. Berbagai alasan, seperti infrastruktur pendidikan yang belum memadai, kurangnya tenaga pendidik, keterbatasan dalam mengakses, hingga faktor ‘biaya’ pendidikan yang tidak murah, masih dijumpai sebagai problematika pendidikan di Indonesia. Dari pendidikan yang tidak merata, kesempatan untuk menyerap pengetahuan pun juga tidak merata, dan memungkinkan pengetahuan tentang hak asasi manusia tidak dapat terdiseminasi secara inklusif dan menyeluruh ke setiap lapisan masyarakat.
Media sebagai (Alternatif) Medium Pengetahuan?
Selain diskursus pengetahuan HAM dalam pendidikan, distribusi informasi turut menjadi medium penting dalam proses diseminasinya. Bahasan mengenai distribusi informasi selanjutnya akan terfokus pada mediumnya tersendiri, yaitu media. Media dalam tatarannya sebagai salah satu faktor berkembangnya pendidikan, dapat dikatakan sebagai medium utama dan yang memiliki dampak terbesar. Media dalam perkembangannya terbagi dalam dua bagian, arus utama dan alternatif seakan menggambarkan proses pendistribusian informasi yang terjadi.
Di titik ini, perlu diberikan pemaparan terlebih dahulu mengenai media arus utama dan alternatif dalam perannya sebagai medium pendistribusian informasi. Media arus utama, yang dapat ditemukan dalam bentuk tayangan televisi, siaran radio, ataupun konten yang disediakan oleh media daring, telah merevolusi cara berbagi pengetahuan, berkomunikasi dan berkolaborasi satu sama lain, sambil terlibat dalam berbagai percakapan. Namun, media bukanlah cermin realitas dan isinya tidak selalu lengkap, akurat, dan tidak bias (Geraee, N., dkk, 2015). Media arus utama itu sendiri merupakan hasil dari citra masyarakat untuk memenuhi kebutuhan seperti memperoleh berita dan informasi, hiburan, dan sosialisasi. Di sisi lain, media alternatif dikonseptualisasikan secara sederhana, sebagai media yang diproduksi oleh mereka yang “dikucilkan secara sosial, budaya dan politik” (Dowmunt, T., & Coyer, K, 2007). Jadi dengan kata lain, media alternatif dapat ditemukan dalam bentuk konten yang mengangkat hal-hal kecil, sederhana, yang tidak diangkat oleh media arus utama.
Hal ini kemudian berkorelasi dengan implementasi pengetahuan untuk semua lapisan masyarakat yang kemudian juga tercatut dalam pemaparan Hak Asasi Manusia, yang dapat dikatakan belum mencapai tingkat optimum. Aktualitas yang terbentuk, dari bahasan sebelumnya, mengerucut ke arah bagaimana media arus utama mewacanakan informasi, sebagai upaya dalam pemupukan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, peran media kemudian berhubungan dengan tampilan muatan informasi mengenai hak asasi manusia, yang cenderung minim mengedukasi masyarakat secara utuh. Bahasan mengenai media menampilkan informasi dapat dilihat dengan perspektif Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis), dimana sasaran dalam analisisnya adalah bahasa. Analisis Wacana Kritis yang selanjutnya akan disebut sebagai AWK, menyoroti bahwa pemaknaan bahasa itu sendiri sudah mengandung ideologi, membawa kepentingan dan merupakan instrumen kekuasaan (Haryatmoko, 2017). Pembongkaran hubungan bahasa dan ideologi akhirnya dibutuhkan, dengan cara pemaknaan bahasa di dalam hubungan kekuasaan dan hubungan sosial turut ditampilkan.
Media arus utama dalam perannya sebagai medium yang ramah dijangkau oleh masyarakat, dirasa kurang dalam memenuhi kewajibannya. Pertama, diskursus penampilan informasi mengenai HAM yang kemudian diwacanakan di dalamnya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu kurangnya pengawalan distribusi informasi sebagai upaya pencerdasan masyarakat terhadap hak asasinya. Pemberitaan HAM di media arus utama dapat dilihat juga dengan perspektif AWK, di mana dalam pengemasan berita cenderung membahas kasus pelanggaran dengan sedikit tambahan wacana yang dirasa mampu mendatangkan atensi masyarakat. Berita-berita mengenai HAM yang dibawakan dalam media arus utama kerap menyinggung permasalahan dengan pengambilan pemaknaan yang lebih sempit dari permasalahan aslinya. Realita pengetahuan mengenai HAM yang terbentuk dalam kehadiran media arus utama (media cetak, televisi, radio, daring) pada akhirnya pun rendah, dilihat dari terciptanya kultur pemberitaan yang sama di tiap media arus utama. Kedua, peran aktif media sebagai pengawas kinerja pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negara jika ditarik dari bahasan di atas ini, juga terlihat belum terpenuhi. Idealnya jika terdapat terdapat pelanggaran HAM, media arus utama secara khusus diharapkan dapat mengawal isu tersebut hingga akhirnya mencapai titik terang. Pemenuhan peran yang masih belum mencapai tingkat yang diharapkan kemudian semakin menguatkan bahasan, bahwa wacana yang dirangkai oleh media arus utama ini hanya sebatas kepentingan suatu ideologi ataupun kekuasaan, yang dapat dibersamai dengan perspektif AWK.
Media alternatif, dalam substansi penyebaran informasi dirasa memiliki pembahasan HAM lebih menyeluruh dari segi lingkup permasalahan maupun respon yang tercipta atas permasalahan HAM tersebut. Konsep media alternatif pada awalnya bukan sebagai pembanding dari media arus utama, tetapi media alternatif kokoh untuk menawarkan pemikiran yang lebih kompleks, memberi muatan informasi yang lebih komprehensif. Bila dilihat dengan perspektif AWK, wacana yang ditawarkan oleh media alternatif perlu mengalami proses yang panjang untuk menjadi suatu media alternatif yang ideal. Media alternatif perlu memperhatikan konteks, dan aktif memberi ruang partisipasi dari audiens, karena jika itu diacuhkan akan mungkin diberi label arus utama dalam waktu dan tempat yang berbeda (Dowmunt, T., & Coyer, K, 2007). Penggiat media kemudian harus membersamai pemahaman, bahwa dampak yang dibawa dari media sebagai medium pencerdasan HAM itu dapat memunculkan potensi positif. Pengetahuan mengenai HAM dapat diimplementasikan apabila media-media yang memproduksi informasi dan pengetahuan mengenai HAM secara komprehensif, didorong untuk lebih tampil dalam mengawal isu HAM di muka publik. Jika beberapa hal ini tidak diperhatikan, media akan gagal untuk tampil sebagai medium alternatif pengetahuan.
Faktor lain dari adanya pembagian media yaitu arus utama dan alternatif, adalah ketimpangan dalam mengakses medium tersebut, yang juga memberi dampak pada implementasi pengetahuan untuk tiap lapisan masyarakat. Lemahnya kemudahan akses pengetahuan dapat dilihat dari tidak tersedianya akses lembaga pendidikan yang ramah untuk tiap lapisannya, maupun internet sebagai pendukung variabel pendidikan di masa sekarang. Disparitas akses di situasi sekarang terlihat sangat nyata, dibersamai dengan fakta bahwa dunia pendidikan sedang mengakselerasi diri ke arah digital. Pengetahuan yang seharusnya tersedia untuk diakses oleh semua masyarakat, akan menjadi suatu hal yang “mahal” dan tidak dapat diraih bagi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke berbagai mediumnya.
Siasat dalam Mereduksi Kesenjangan Pengetahuan
Ketimpangan perihal akses seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, memunculkan kesenjangan pengetahuan mengenai HAM yang beresiko. Resiko tersebut salah satunya muncul pada pemahaman mengenai HAM yang tidak holistik, termasuk dalam ranah keluarga sebagai lingkup kolektif paling primer. Hal ini dapat berakibat fatal, seperti munculnya konflik masyarakat yang terjadi karena ketidaksadaran seseorang atas haknya, atau ketidakpahaman seseorang untuk menghormati hak orang lain. Terdapat sejumlah alternatif yang dapat diterapkan untuk merespon problematika tersebut, salah satunya dengan membuka ruang-ruang percakapan interaktif yang memuat diskursus pengetahuan mengenai HAM secara dialektik dan refleksif.
Bagaimana pengetahuan mengenai HAM turut terbentuk dengan perubahan zaman, proses interaksi dialektis dapat diterapkan untuk memahami bagaimana diskursus pengetahuan mengenai HAM. Suatu zaman senantiasa ditandai oleh kompleks gagasan-gagasan, konsep-konsep, harapan-harapan, keraguan-keraguan, nilai-nilai, dan tantangan-tantangan dalam interaksi dialektis dengan lawan-lawan itu semua, ke arah suatu penyelesaian (Freire, Paulo, 2008). Dialektika bekerja dengan proses yang terjadi secara dua arah dengan berdialog dan berdiskusi, dan proses pembelajaran secara dialektis ini memungkinkan refleksivitas seseorang terpantik. Kaitannya dengan pemahaman mengenai HAM, pengetahuan menyangkut HAM yang di desiminasi secara dialektis dapat direfleksikan pada realita masyarakat di mana seseorang berada.
Berangkat dari problematika ketimpangan ini, diperlukan kehadiran subjek-subjek yang menjadi fasilitator pada berjalannya proses diseminasi pengetahuan mengenai HAM. Fungsi dan peran fasilitator dalam konteks ini adalah mengarusutamakan pengetahuan mengenai HAM dengan memastikan proses pembelajaran dalam memahami pengetahuan mengenai HAM berjalan secara dialektis. Peran fasilitator menjadi krusial, bukan hanya sebagai pendidik, tapi fasilitator juga perlu mempraktekan relasi yang setara dengan subjek-subjek yang dihadapinya. Dengan relasi yang setara, dialektika menyangkut pengetahuan tentang HAM dapat direfleksikan pada pengalaman terdekat melalui proses ini, untuk menekankan pentingnya kesadaran atas kesetaraan sebagai sesama manusia.
Di sisi lain, mengingat ketimpangan yang muncul dalam hal akses terhadap pendidikan dan informasi, kecenderungannya berhubungan dengan latar belakang seseorang–kemampuan ekonomi, kualitas pendidikan, status sosial, dan sebagainya. Pada titik ini, kehadiran negara sangat dibutuhkan. Negara berperan penting untuk mereduksi ketimpangan tersebut dengan menjamin fasilitas yang mendukung proses diseminasi pengetahuan berlangsung, seperti infrastruktur pendidikan, bahan bacaan dengan harga murah, akses internet yang merata di setiap wilayah, dan sebagainya. Apabila fasilitas pendukung telah memadai, merata, dan dapat mencakup setiap lapisan di masyarakat, sangat mungkin diseminasi pengetahuan dapat terdistribusi dengan lebih baik. Selanjutnya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, proses pembelajaran mengenai HAM secara dialektik nan refleksif memerlukan pihak-pihak yang secara sukarela menjadi fasilitator dalam proses diseminasi pengetahuan mengenai HAM tersebut. Dalam realitanya, mereka yang kebanyakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang memberi perhatian pada isu tentang HAM, seperti NGO (Non-Government Organization) ataupun kelompok-kelompok volunteer lainnya, berperan menjadi fasilitator dalam proses diseminasi pengetahuan tersebut.
Namun, selain terjaminnya fasilitas pendukung serta hadirnya fasilitator, partisipasi keluarga dalam proses ini menjadi point yang menentukan. Keterlibatan keluarga berperan untuk membentuk agensi dari diskursus pengetahuan mengenai HAM atas proses dialektik tersebut. Sehingga, memungkinkan wacana yang terkandung dalam pengetahuan tentang HAM, dapat direfleksikan pada nilai-nilai yang berlaku di dalam keluarga. Hal ini selanjutnya berhubungan dengan bagaimana dinamika dalam relasi dan interaksi pada sebuah keluarga, sebagai ranah kolektif primer bagi seseorang. Melalui interaksi yang terjalin antara orangtua dengan anak, antara sanak saudara, dan sebagainya. Bagaimana proses tersebut berlangsung, dijelaskan pada bagian berikut ini.
Keluarga, Konstruksi Pengetahuan, dan Kognisi mengenai HAM
Konstruksi pengetahuan akan HAM seperti yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, terbentuk melalui faktor internal (proses pemahaman dari diri sendiri) dan sejumlah faktor eksternal, yang keduanya saling berkesinambungan. Lembaga keluarga menjadi salah satu bagian dari faktor eksternal tersebut, dan merupakan lembaga primer dalam melakukan sosialisasi dan identifikasi nilai terhadap individu. Nilai-nilai tersebut tertuang dalam beragam bentuk, seperti nasihat, habit, dan lain-lain. Oleh karenanya, posisi keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam meletakkan landasan nilai dan moralitas, di mana pada konteks ini terkait diskursus pengetahuan mengenai HAM.
Proses internalisasi nilai tersebut idealnya berjalan beriringan, karena masing-masing memiliki porsi tersendiri yang pada akhirnya terangkum menjadi konstruksi yang membentuk individu. Melalui nilai yang disalurkan oleh keluarga, diskursus pengetahuan akan timbul dan mengkristal. Terbentuknya habit membaca dalam keluarga menarik untuk didiskusikan, karena habit membaca memiliki peran dalam proses pembentukan kognitif individu. Dengan terbentuknya habit membaca, dapat menjadi medium di mana agensi terkait proses dialektika mengenai HAM diimplementasikan secara refleksif.
Leksono (1999) mengatakan bahwa membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkitan kepekaan terhadap kemanusiaan. Pernyataan tersebut menggambarkan keterlekatan yang begitu erat antara habit membaca dalam mengkonstruksi diskursus pengetahuan sehingga dapat memantik individu dalam memahami sebuah fenomena.
Terhadap persoalan habit membaca, sejumlah penelitian telah menunjukkan bagaimana ‘rumah’ dapat berkontribusi secara substansial terhadap keberhasilan membaca. Hess et al., (1982) menemukan bahwa interaksi verbal, minat membaca, bacaan milik orang tua, akses terhadap bahan bacaan, kesempatan untuk membaca, serta momen membaca antara orang tua dan anak menjadi aspek pendukung terbangunnya habit membaca di rumah.
Menilik konteks Indonesia, tidak semua keluarga berhasil menerapkan habit membaca. Hal ini lantaran setiap keluarga memiliki latar belakang berbeda dengan keluarga lainnya. Greaney dan Hegarty (1985) dalam artikel Parental Influences on Reading memaparkan bahwa korelasi antara status sosial ekonomi keluarga dan terlebih pendidikan orang tua memiliki andil dalam perbedaan proses sosialisasi nilai dalam keluarga. Lebih lanjut Greaney dan Hegartey mengatakan bahwa nampaknya semakin besar tingkat pengalaman orang tua dengan pendidikan formal, mereka semakin mempersiapkan anak-anak mereka untuk menghadapi tuntutan sekolah dengan memberikan mereka keterampilan, sikap, dan nilai kesiapan yang sesuai. Selanjutnya, Greaney (1986) memaparkan sejumlah aspek penghambat sebuah keluarga dalam menerapkan habit membaca, seperti tingkat pendapatan keluarga, pendapatan nasional, dialek lokal, dan lokasi geografis sangat berpengaruh terhadap ketersediaan bahan bacaan milik umum atau dalam keluarga.
Sejumlah pemaparan diatas telah menunjukkan bagaimana realita dalam ranah keluarga turut memiliki keterbatasan. Mungkin akan lebih sulit apabila masing-masing pihak berusaha mengimplementasikan pengetahuan mengenai HAM dengan caranya masing-masing dan berjuang ‘sendirian’. Baik negara melalui lembaga pendidikan, media pada kanal-kanal informasinya, dan keluarga melalui nilai-nilainya, sebenarnya mampu untuk saling berperan satu dengan lainnya, sebagai alternatif ketimpangan akses dan kesenjangan pengetahuan atas HAM.
Selaras dengan konsep dialektika yang telah diusung pada bagian sebelumnya, hal ini justru memperkuat dugaan bahwa proses diseminasi mengenai HAM lebih sesuai bila dijalankan oleh setiap pihak, di mana negara, masyarakat, dan keluarga turut memiliki andil dalam mengarusutamakan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan. Dengan penekanan pada proses dialog dan diskusi, peran keluarga sebenarnya dapat menjadi pihak terdepan dalam mendukung keberhasilan dalam mengimplementasikan konsep tersebut. Keluarga dapat menjadi ranah dimana agensi terbentuk, seperti pada praktek ‘membaca’ teks-teks terkait hak asasi manusia, yang diterapkan secara dialektis dan kontekstual. Sehingga, memungkinkan subjek yang bersangkutan tidak hanya sebatas memahami informasi secara literal dan tekstual, namun juga dapat merefleksikan pengetahuan tersebut secara empiris dan kontekstual.
REFERENSI
- Dowmunt, T., & Coyer, K. 2007. Introduction. In K. Coyer, T. Dowmunt & A. Fountain (Eds.), The Alternative Media Handbook. (pp. 1-12). New York: Routledge.
- Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
- Geraee, N., Kaveh, M. H., Shojaeizadeh, D., & Tabatabaee, H. R. 2015. Impact of media literacy education on knowledge and behavioral intention of adolescents in dealing with media messages according to Stages of Change. Journal of advances in medical education & professionalism, 3(1), 9–14.
- Greaney, Vincent. 1986. Parental Influences on Reading, dalam The Reading-Writing-Thinking Connection. Journal The Reading Teacher, 39(8), 813-818.
- Haryatmoko. 2017. Critical Discourse Analysis: Landasan, Teori, Metodologi, dan Penerapan. Jakarta: Rajawali Press.
- Hess, Robert D., Susan D. Holloway, Gary G. Price and W. Patrick Dickson. 1982. Family Environments and the Acquisition of Reading Skills: Toward a More Precise Analysis, dalam Families as Learning Environments for Children, diedit oleh Luis M. Laosa dan Irving E. Sigel. New York: Plenum Press
- Jaramillo, N. E., dkk. 2012. Chapter Fourteen: Education, dalam Brunsma, D. L., Smith, K. E. & Gran, B. K., Handbook of Sociology and Human Rights. London: Paradigm Publishers
- Leksono, Karlina, dkk. 1999. Bab III: Membaca dan Menulis: Sebuah Pengalaman Eksistensial, dalam Taryadi, Alfons, Buku dalam Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
- Tilaar, H. A. R., dkk. 2001. Dimensi-Dimensi HAM dalam Kurikulum Persekolahan di Indonesia. Bandung: PT Alumni