Maraknya Kekerasan Berbasis Gender Online di Kala Pandemi COVID-19
January 29, 2021Bincang Buku YouSure: Anak Muda dan Profesi Kreasi Konten Era Digital
August 18, 2021Oleh:
Prasakti Ramadhana Fahadi
Di bulan Februari lalu, YouSure mempersembahkan sebuah video tentang pendapat dan pandangan anak muda mengenai pernikahan dan pasangan seperti apa yang mereka dambakan ketika menikah nanti. Video ini dimaksudkan untuk mengangkat kembali diskusi tentang pemuda dan pernikahan yang menjadi tema Jurnal Studi Pemuda edisi khusus Perubahan Pemuda, Pernikahan, dan Keluarga. Dari hasil wawancara sejumlah anak muda yang ditampilkan dalam video tersebut, artikel ini akan mencoba memberikan perspektif lanjutan dari salah satu artikel dalam JSP yang berfokus kepada pandangan berbasis gender dengan judul Navigating the Future Husband: Perempuan Muda, Negosiasi Pernikahan, dan Perubahan Sosial yang menyimpulkan bahwa perempuan muda berada dalam posisi negosiasi antara tradisi kultural dan keluarga dengan modernisasi. Selain itu, jika Navigating the Future Husband hanya berfokus kepada perspektif perempuan muda, artikel ini akan mengungkap persepsi tentang pernikahan dan pasangan yang ideal dari sudut pandang perempuan dan laki-laki muda.
Tipe Isteri vs Tipe Suami Ideal
Membicarakan isu gender sesungguhnya tidak hanya membicarakan perempuan saja, namun juga mendiskusikan bagaimana budaya patriarki mempengaruhi kehidupan laki-laki. Budaya ini menganggap bahwa laki-laki harus memiliki kualitas-kualitas dan peranan tertentu untuk dianggap “maskulin” atau sebagai “laki-laki sejati”, yang dikenal dalam diskusi kontemporer sebagai “toxic masculinity” * (Coles, 2017). Kualitas-kualitas ini misalnya laki-laki berfisik gagah dan kuat, tidak menampakkan emosi atau perasaan, dan lain sebagainya yang memberikan kesan bahwa si laki-laki dapat menjalankan “peran”-nya sebagai pelindung yang kuat dan “jantan”. Konsep peranan berdasarkan gender (gender roles) sering pula dikaitkan ketika kita membicarakan ide mengenai pernikahan. Di dalam konsep pernikahan heteronormatif tradisional, laki-laki sebagai suami berperan sebagai breadwinner dan protector sementara peranan perempuan sebagai isteri adalah sebagai homemaker dan child bearer. Di dalam masyarakat patriarkis, ketimpangan relasi kuasa semakin dilanggengkan dengan adanya gender roles (Koester, 2015). Salah satu manifestasi dari hegemonic masculinity (Connell, 2005) adalah ketika dominasi laki-laki dalam rumah tangga diperkuat dengan anggapan bahwa sebagai pencari nafkah utama, keberadaan laki-laki dalam dunia kerja perlu diutamakan daripada perempuan. Hal ini semakin memperparah ketimpangan relasi kuasa sebab posisi perempuan semakin dilemahkan dengan ketidakberdayaan, karena—tidak seperti pekerjaan profesional umumnya—pekerjaan domestik merupakan unpaid labor.
Dari hasil wawancara video YouSure, terdapat satu temuan yang menunjukkan sebuah pola yang menarik: pasangan ideal bagi informan laki-laki cenderung berfokus kepada karakter yang tidak demanding. Karakter pasangan ideal yang diinginkan informan laki-laki memang tidak secara eksplisit mengindikasikan “persyaratan” peran isteri sebagai homemaker yang harus tinggal di rumah dan mengasuh anak, namun masih menekankan kualitas-kualitas yang bersifat pasrah atau submissive. Sehingga dapat diinterpretasikan sebagai keinginan dalam menegaskan kuasa (asserting power). Menegaskan kuasa atas pihak lain merupakan salah satu cara mengekspresikan emosi dan tekanan ketika maskulinitas terancam (Pallegrini & Bartini, 2001). Pernyataan seperti “nggak neko-neko”, “nggak banyak mau”, dan “menerima apa adanya” yang dilontarkan informan laki-laki dalam wawancara ketika menjawab seperti apa pasangan yang ideal bagi mereka dapat diasumsikan sebagai negasi dari sifat-sifat demanding—bahkan submisif—yang dianggap mengancam kedudukan laki-laki sebagai pihak dominan dan yang memegang kuasa dalam pernikahan. Sementara itu, informan perempuan lebih berfokus kepada kualitas moral pasangan mereka , seperti “saleh” (bermoral baik), “berprinsip moral yang sama”, dan “gemati” (penyayang). Tidak ada informan perempuan yang menyebutkan sifat-sifat maskulin tradisional sebagai kualitas pasangan ideal mereka, misalnya gagah perkasa, pemberani, tegar, bahkan breadwinning. Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan informan perempuan, laki-laki dengan pendekatan feminin—seperti welas asih dan empatik—dalam berumahtangga dinilai lebih ideal dibanding pendekatan maskulin.
Usia Ideal dan Pandangan soal Pernikahan
Di dalam Navigating the Future Husband, Putri et. al (2020) menekankan faktor perubahan sosial dalam bergesernya usia pernikahan pertama yang ideal bagi kelompok usia muda. Hal ini juga terpola di antara informan wawancara video. Baik informan perempuan dan laki-laki menginginkan usia ideal pernikahan di atas batas usia minimal sesuai hukum di Indonesia (19 tahun). Menariknya, informan perempuan menginginkan pernikahan di usia 27-30 tahun, sementara informan laki-laki di usia 25-26 tahun. Alasan perbedaan tipis usia ideal pernikahan antara anak muda perempuan dan laki-laki ini apabila ditinjau perspektif gender kritis, menunjukkan beberapa kemungkinan:
- Umumnya keberadaan persyaratan kerja yang lebih sulit bagi perempuan di Indonesia—seperti syarat lajang, batas usia, dan kesempatan promosi yang kecil bagi perempuan menikah—membuat perempuan muda ingin memaksimalkan potensi karir mereka selagi belum menikah.
- Terbatasnya ruang gerak perempuan setelah menikah yang disebabkan oleh ekspektasi gender roles bagi perempuan membuat perempuan lebih tidak terburu-buru untuk menikah. Gender roles yang dimaksud misalnya ekspektasi perempuan untuk (tetap) bertanggung jawab atas urusan domestik dan pengasuhan anak meskipun sama-sama memiliki karir penuh waktu dengan suami atau yang disebut dengan istilah “second shift” responsibilities (Ogletree, 2015).
- Anggapan bahwa peran perempuan dalam pernikahan adalah mengurusi urusan domestik juga membuat laki-laki tidak terbiasa dengan tanggung jawab dan keterampilan rumah tangga seperti memasak, membereskan rumah, dan mengurus anak. Akibatnya, ketika mereka dihadapkan dengan pekerjaan yang jauh dari kampung halaman, laki-laki cenderung ingin secepatnya berumahtangga dengan ekspektasi bahwa ada seseorang lain yang dapat diandalkan untuk mengurus kebutuhan mereka.
Poin ke tiga di atas sekaligus menjelaskan salah satu temuan lain di dalam wawancara, yakni informan laki-laki menganggap pernikahan adalah sebagai crutch atau penopang, sebagai institusi yang dapat memenuhi kebutuhan akan pendamping hidup bagi laki-laki. Di samping itu, studi yang dilakukan di Amerika (Amato et. al, 2003) menunjukkan bahwa perempuan memang lebih bahagia di dalam pernikahan apabila suami berpartisipasi dalam pekerjaan domestik, di kala kepuasan laki-laki malah cenderung menurun. Sebaliknya, informan perempuan melihat ide mengenai pernikahan sebagai sebuah konsep partnership. Temuan ini mengkonfirmasi lebih lanjut argumen Ariane Utomo dalam tulisannya Marrying Up? Trends in Age and Education Gaps Among Married Couples in Indonesia (2014) yang melihat pengurangan jumlah perempuan yang menikah dengan alasan peningkatan kualitas hidup (marrying up) dari tahun 1984 ke 2010. Hal ini dapat diartikan bahwa perempuan muda tidak lagi melihat pernikahan sebagai institusi di mana laki-laki bertanggung jawab sepenuhnya sebagai pencari nafkah utama atau sebagai pihak yang memiliki “the upper hand” dalam pernikahan, melainkan kedua belah pihak secara setara saling terlibat dalam urusan finansial maupun domestik.
Menikah itu Pasti ‘kan?
Di antara perbedaan-perbedaan narasi informan muda laki-laki dan perempuan, terdapat satu pertanyaan yang mendapatkan jawaban seragam: 100% informan menyatakan mereka akan dan ingin menikah. Belum ada informan yang menawarkan pandangan bahwa menikah adalah sebuah opsi di dalam hidup yang bisa tidak diambil. Sesuai dengan penjabaran di poin sebelumnya, bagi informan laki-laki, pernikahan adalah sesuatu yang menguntungkan dan “hanya 5 persen saja enak tapi 95 persen enak banget”. Namun bagi informan perempuan, meskipun mereka sendiri tidak melihat pernikahan sebagai sesuatu yang “tidak ada bedanya dengan ketika pacaran” namun mereka tetap ingin dan akan menikah, walaupun hanya untuk menuruti keinginan orangtua. Hal ini senada dengan temuan yang dijabarkan dalam Navigating the Future Husband bahwa perempuan muda Indonesia, meskipun telah mengikuti pemahaman yang lebih progresif, namun masih bernegosiasi dengan tradisi dan keluarga. Secara normatif, pasangan laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan bukan/belum merupakan konsep yang favorable.
Menurut berbagai penelitian, perempuan memiliki perilaku seksis yang lebih minimal dan cenderung bersikap lebih egaliter dibandingkan laki-laki (Baber & Tucker, 2006; Glick & Fiske, 2001 di dalam Ogletree, 2015). Laki-laki secara kontinyu mendapatkan keuntungan dan hak istimewa dari sistem patriarkis, sehingga cenderung merasa nyaman dan enggan untuk merombak sistem. Dari hasil wawancara video YouSure ini, meskipun masih dalam posisi negosiasi, rata-rata perempuan muda sudah tidak lagi terjebak dalam internalisasi patriarki yang menganggap bahwa peranan di dalam pernikahan terbagi berdasarkan gender secara tradisional. Kesimpulannya, pendekatan feminis belum diterapkan oleh anak muda laki-laki sejauh yang sudah diterapkan oleh anak muda perempuan. Hal ini sangat disayangkan karena keterlibatan laki-laki dapat secara signifikan mempercepat penciptaan masyarakat adil gender, terutama laki-laki muda yang menjadi generasi produktif dan cakap bermedia digital, sehingga memiliki potensi besar untuk menggunakan privilej mereka untuk menyuarakan dan mengamplifikasi urgensi akan kesetaraan.
* Kesahihan konsep toxic masculinity masih menjadi perdebatan di kalangan akademik untuk digunakan sebagai konsep analitik karena definisinya yang dianggap masih belum stabil dan terkonseptualisasi dengan baik (Harrington, 2020).
Referensi
Coles, T. (2017, October 11). How The Patriarchy Harms Men And Boys, Too. Retrieved from Huffington Post Canada: https://www.huffingtonpost.ca/2017/11/10/patriarchy-men-boys_a_23273251/
Connell, R. W. (2005). Masculinities (2nd ed.). Berkeley, California: University of California Press.
Harrington, C. (2020). What is “Toxic Masculinity” and Why Does it Matter? Men and Masculinities, 20(10), 1-8.
Koester, D. (2015, May 21). Gender and power: six links and one big opportunity. Retrieved from The Developmental Leadership Program: https://www.dlprog.org/opinions/gender-and-power-six-links-and-one-big-opportunity#:~:text=Inequalities%20between%20men%20and%20women,Gender%20relations%20are%20power%20relations.&text=These%20gender%20roles%20tend%20to,that%20they%20are%20based%20on.
Ogletree, S. M. (2015). Gender role attitudes and expectations for marriage. Journal of Research on Women and Gender, 5, 71-82.
Pallegrini, A. D., & Bartini, M. (2001). Dominance in Early Adolescent Boys: Affiliative and Aggressive Dimensions and Possible Functions. Merrill-Palmer Quarterly, 47(1), 7.
Putri, R. D., Fahadi, P. R., Kusumaningtyas, A. P., Utomo, A., & Sutopo, O. R. (2020). Navigating the Future Husband: Perempuan Muda, Negosiasi Pernikahan dan Perubahan Sosial. Jurnal Studi Pemuda, 9(2), 90-103.
Feature Image by Nyne Comics