Konsumsi Makna Zero Waste di Kalangan Anak Muda
January 9, 2020Kapan Seharusnya Perempuan Melepas Keperawanannya?
February 14, 2020Oleh: Arya Malik
“Love is thus always a risk in which we abandon some of our attachments to this world in the hope of creating another, better one.”
-Michael Hardt.
Kira-kira, apa yang terlintas di benak kita saat mendengar kata ‘cinta’? Mungkin, bisa jadi sebagian dari kita berpikir tentang sepasang kekasih yang memadu asmara, atau mungkin juga kita terbayang tentang kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Cinta, sangat lekat dengan hal-hal dengan romansa yang privat dan intim. Terlebih lagi, cinta cenderung menjadi komoditas zaman modern, seperti drama-drama percintaan dalam sinetron, film, ataupun media populer lainnya. Kondisi ini, mendorong pemaknaan terhadap cinta menjadi lebih sempit dan kaku. Konsep modern tentang cinta hampir secara eksklusif terbatas pada pasangan borjuis dan batas-batas klaustrofobik dalam keluarga inti, cinta telah menjadi urusan yang bersifat privat (Hardt & Negri, 2004) .
Padahal, bukankah cinta adalah entitas yang begitu cair dan dapat dirasakan oleh setiap orang? Lantas, apakah pemaknaan mengenai cinta cenderung hanya mengarah pada sesuatu yang sifatnya intim dan privat? Michael Hardt, seorang filsuf dan profesor dari Duke University, Inggris, menawarkan pandangannya mengenai cinta sebagai sebuah konsep politik (love as a political concept). Ia mengusulkan bahwa kita perlu merebut kembali cinta dari definisi sempitnya saat ini, untuk mendefinisikan dan menemukan kembali cinta sebagai konsep politik. Menurut Hardt (2007, p. 812) , segregasi terhadap cinta, seperti “cinta sesama”, “cinta keluarga”, atau bahkan memperluas, seperti “cinta ras”, dianggap sebagai kategori yang membatasi. Baginya, cinta seperti ini telah menghancurkan potensi cinta sebagai konsep politik yang lebih dermawan dan positif. Di satu sisi, cinta seperti itu dapat berfungsi pada jenis nasionalisme tertentu, atau jenis fundamentalisme agama tertentu, tetapi sekaligus juga mengesklusikan “yang lain” — dan gagasan cinta sebagai konsep politik diciptakan sebagai bukan “cinta sesama”, tetapi sebagai cinta perbedaan, cinta terhadap orang asing. Cinta harus dianggap sebagai proliferasi perbedaan, bukan peleburan perbedaan (Hardt, 2007, p. 813) .
Selama ini, persepsi mengenai cinta sebagai hal yang intim, dan konsep sosial secara umum, dianggap terpisah secara radikal, bahkan berbeda. Cinta terhadap pasangan dan keluarga misalnya, paling sering dianggap sebagai urusan yang privat. Sedangkan cinta kepada negara, mungkin adalah bentuk cinta publik yang paling dikenal saat ini, yang beroperasi di luar lingkup keintiman. Cinta umumnya lekat dengan ikatan, yang dialami oleh mereka yang sudah sama setelah proses penyatuan, di mana perbedaan dilepaskan atau disingkirkan (Hardt, 2007) .
Gagasan mengenai cinta sebagai konsep politik, mungkin dapat menjadi alternatif bagi anak-anak muda untuk mengartikulasikan pemaknaannya tentang cinta. Kita kehilangan diri kita dalam cinta dan membuka kemungkinan dunia baru, tetapi pada saat yang sama cinta merupakan ikatan kuat yang bertahan lama (Hardt, 2011) . Melalui gagasan tersebut, cinta tidak lagi hanya dimiliki oleh narasi-narasi romantis. Lebih jauh dari itu, cinta dapat menjadi artikulasi pada ranah-ranah perjuangan yang lebih luas.
Bagi generasi muda, yang seringkali dianggap sebagai agent of change, gagasan cinta sebagai konsep politik dapat menjadi pijakan dalam mengawal perubahan. Cinta adalah kekuatan generatif yang memungkinkan orang membentuk aliansi lintas alteritas, memungkinkan kita untuk menciptakan tujuan politik yang sama, karena cinta adalah kekuatan transformatif (Hardt, 2011) . Semangat yang tersemat dalam cinta sebagai konsep politik dapat menjadi proyeksi bagi generasi muda, pada keberpihakan yang lebih memanusiakan manusia.
Bibliography Hardt, M. (2007, March 18). A Conversation with Michael Hardt on The Politics of Love. (L. Schwartz, Interviewer) Interval(le)s II.2-III.1 (Fall 2008/ Winter 2009). Hardt, M. (2011). For Love or Money. Cultural Anthropology 26 (4), 676-682. Hardt, M., & Negri, A. (2004). Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New York: The Penguin Press.