Cinta: Sebuah Konsepsi Politik
February 14, 2020“ASAL KAU BAHAGIA” Review Film Nisekoi
February 14, 2020Ima G. Elhasni
Ada yang bilang segeralah menikah karena “nanti keburu kering”. Ada pula yang rela “pecah” perawan demi memenuhi keinginan pacar. sebenarnya, kapan sih harusnya perempuan tidak virgin? Atau lebih tepatnya, kapan perempuan punya otoritas penuh atas tubuhnya sendiri?
Seorang teman dari Jakarta pernah bilang ke saya kalau perempuan sekarang banyak yang “pecah” perawan demi menunjukkan rasa cinta ke pria yang disayanginya. “Lo kalau belum ngewe ya ga pacaran namanya,” katanya (jika saya tak salah ingat) kala itu. Menurutnya, aktivitas seksual itu menjadi suatu bentuk cinta dan rasa kepercayaan yang perempuan berikan kepada pacarnya. Namun, ketika saya tanya apakah ngeseks juga menjamin mereka menjalin hubungan sampai ke jenjang pernikahan, teman saya hanya mengangkat bahu dan berkata, “ga berani jamin, sih.”
Di satu sisi, saya juga mempunyai seorang tante yang hingga di umur 45 tahun belum menikah. Saat ini dia sedang bekerja di salah satu NGO Internasional untuk membantu rekonsiliasi dan pemulihan sosial masyarakat Palu pasca tsunami. Untuk saya, hal ini tentu mengagumkan dan memberikan saya inspirasi. Sayangnya, orang-orang tua di sekitar saya tidak berpikir demikian. Seorang nenek tetangga rumah saya pernah memberi saya nasihat, “nanti kalau bisa menikah dulu baru bekerja, supaya tidak seperti tantemu.”
Saya pun menjadi penasaran, bagaimana dan kapan konstruksi “waktu yang tepat untuk kehilangan keperawanan” ini terjadi? Sebuah media pop culture berbahasa Inggris, Babe, mengatakan bahwa kebanyakan orang “menyerahkan” keperawanannya ketika mereka berumur 17 tahun. Asumsinya, umur 16-22 tahun menjadi masa yang tepat untuk mengeksplorasi seksualitas dan melepas keperawanan.[1] Dilansir dari The Guardian, mayoritas populasi survei yang diadakan Natsal melaporkan sudah melakukan seks di umur 25 tahun. Di data dalam rentang waktu 2010-2012, hanya 2.2% laki-laki dan 1.1% perempuan di Inggris yang masih virgin di umur 30 tahun.[2]
Di Indonesia, keperawanan dianggap suatu hal yang sakral hanya bisa “dipecahkan” ketika perempuan itu sudah sah menikah dan memiliki pasangan. Stigma pun jadi bertambah bukan hanya ke perempuan yang dianggap “terlalu lama” perawan, tapi juga untuk mereka yang melakukan seks di luar nikah. Ekspresi seksualitas perempuan pun menjadi tidak bebas dan cenderung “serba salah” akibat penilaian masyarakat tersebut. Perempuan bisa “dibuang” begitu saja oleh pria jika dia mengaku sudah tidak perawan. Di sisi lain, perempuan bisa saja terpaksa melakukan hubungan seks karena takut dianggap tidak cinta pacarnya. Ada pula perempuan yang jadi insecure karena dicap perawan tua oleh orang-orang di sekelilingnya.
Keperawanan seakan menjadi urusan masyarakat yang membuat saya sebagai perempuan ribet sendiri dan pusing memikirkannya. Saya rasa, kegiatan seks dan “melepas” keperawanan seharusnya menjadi sesuatu yang privat, penuh konsen dari para pelakunya, dan menjadi momen yang indah. Kalau begini, bukan hanya keperawanan secara fisik yang “diperkosa”, melainkan nilai kita sebagai perempuan pun dengan mudah “diperkosa” oleh masyarakat moralis di ssekitar kita.
Bibliography: [1] Ficarra, Jennifer. (2017). For girls whi miss the ‘window’ to lose their virginity, dating can be difficult. Babe. [Online]. Diakses pada: 12/02/2020. Dapat diakses di: https://babe.net/2017/10/03/for-girls-who-miss-the-window-to-lose-their-virginity-dating-can-be-difficult-15182 [2] Hunt, Elle. (2019). Later-in-life virgins-‘At my age, it become a red flag’. The Guardian. [Online]. Diakses pada: 12/02/2020. Dapat diakses di: https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2019/jun/18/later-in-life-virgins-at-my-age-it-becomes-a-red-flag