News

News, Uncategorized

Obsesi Anak Muda terhadap Layanan Psikologi Bukan untuk Ditertawakan

Obsesi Anak Muda terhadap Layanan Psikologi Bukan untuk Ditertawakan 

Oleh : 

Amanda Tan

Belakangan ini, beberapa video pendek beredar di platform media sosial yang menampilkan lemahnya generasi Millenial dan generasi Z dalam menghadapi tantangan di dunia pekerjaan, mereka sekarang disebut sebagai generasi stroberi. Di video tersebut, narator kemudian juga menggambarkan bagaimana generasi ini selalu bergantung pada layanan psikologi untuk proses pemulihan dari ‘shock’ atau tekanan yang didapatkan, sedangkan generasi sebelumnya, baby boomers, tegar dalam menghadapi tekanan. Visualisasi yang ditampilkan sangatlah memberikan persepsi negatif mengenai mentalitas generasi Z dan Millenial, bahwa mereka lemah, tidak berdaya, tidak mudah ditempa dan memiliki privilese untuk mengakses layanan kesehatan psikologi atau psikiatri secara mandiri. Bahkan ada juga video yang mengatribusikan mentalitas ini dengan kesalahan pola asuh.

Artikel ini mempermasalahkan persepsi negatif yang dicetuskan oleh para konten kreator tentang ‘obsesi’ generasi Z terhadap layangan psikologi. Di dalam kontestasi narasi di media sosial, perbedaan sikap dan mentalitas generasi selalu dimunculkan, dan mengedepankan trait positif dari generasi pendahulu generasi Z atau millenial, namun penjelasan bagaimana perbedaan muncul dan terjadi dari lensa ilmu sosiologi masih belum banyak dibahas. Selain itu, persepsi bahwa generasi Z selalu memiliki akses terhadap layanan psikologis juga menjadi masalah yang perlu diulas.

Teori Generasi Sosial oleh Karl Mannheim (1952, disitasi di Woodman & Wyn, 2015), seorang sosiolog yang mempelajari perubahan sosial dan dampaknya terhadap pembentukan kelompok generasi, menjelaskan bahwa sebuah generasi tumbuh dari situasi sosial-politik ekonomi tertentu dan spesifik, dan kelompok ini kemudian memiliki kesadaran kelas yang sama untuk menegasikan kondisi struktural tersebut.

Mannheim juga menjelaskan bahwa walau sebuah generasi menghadapi kondisi sosial-politik dan isu kebijakan yang sama, namun terdapat ‘generational unit’ di dalam sebuah kelompok generasi dimana unit-unit kecil ini memiliki perbedaan dalam segi akses dan sumber daya karena berada pada posisi kelas yang berbeda. Tidak ada situasi kondisi politik-sosial yang lebih mudah atau sulit dengan generasi sebelumnya, poinnya adalah pada pembentukan karakteristik, trait, dan disposisi serta munculnya kesadaran kelas akan situasi tersebut.

Studi kepemudaan kemudian juga dianalisakan lebih lanjut oleh beberapa sosiolog lainnya seperti Johanna Wyn dan Dan Woodman (2006), di dalam artikelnya yang berjudul Generation, Youth and Social Change in Australia. Wyn and Woodman (2006) memakai konsep generasi untuk melihat bagaimana perubahaan sosial dikonseptualisasikan sebagai bentuk perubahan kebijakan negara dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan yang berbasis pada praktik neoliberalisme, sehingga membentuk pengalaman hidup anak muda di kesehariannya yang mana juga berpengaruh pada pola sikap dan perilaku. Woodman (2020) juga menambahkan bahwa walau proses perubahan sosial yang terjadi, kesenjangan antar kelompok tersebut berlanjut namun termanifestasi dalam bentuk yang berbeda akibat perbedaan kondisi situasi politik, ekonomi, dan kebijakan yang berbeda juga. Seperti misalnya, kesenjangan sekarang diartikan sebagai proses yang mengindividualisasi, artinya anak muda secara individual perlu menanggung sendiri bagaimana menavigasikan kesenjangan yang terjadi dengan cara masing-masing.

Berdasarkan teori di atas, pengaplikasian ke dalam konteks Indonesia menjadi relevan, mengingat bahwa pemerintah juga mencetuskan beberapa kebijakan neoliberalisme di dalam konteks ketenagakerjaan, seperti UU Cipta Kerja. Artikel ini berargumen bahwa obsesi anak muda terkait dengan layanan psikologis seharusnya bukan menjadi hal yang perlu ditertawakan. Apalagi, masyarakat modern memang sudah beralih menjadi masyarakat terapeutik, menanggalkan moralisme dan ke-Tuhanan (Rieff, 1966).

Kondisi pekerjaan dan kebijakan yang berbeda, seperti kerja berbasis kontrak dan jam yang tidak menentu yang mengkarakterisasikan kebijakan neoliberalisme di Indonesia tentu berdampak pada kondisi psikologis anak muda. Menurut studi oleh Becker, Hartwich dan Haslam (2021), neoliberalisme di dalam dunia kerja memiliki dampak membuat seseorang merasa kesepian dan cemas yang berlebih. Dituntut untuk dapat menavigasikan proses ini secara mandiri dan individualis, layanan kesehatan mental menjadi salah satu rujukan mereka untuk memulihkan diri.

Sayangnya, negara belum sepenuhnya hadir untuk memberikan layanan kesehatan mental yang terjangkau agar hak atas kesehatan anak muda terpenuhi seutuhnya. Layanan kesehatan mental gratis memang belum banyak diciptakan untuk dapat menavigasikan masalah struktural ini, hanya beberapa lembaga non-for-profit yang menyediakannya secara gratis.

Hak atas pelayanan kesehatan yang memadai, tidak hanya berdasarkan mekanisme market dan privatisasi, perlu menjadi salah satu agenda kebijakan pemerintah yang dapat juga berkolaborasi dengan masyarakat sipil untuk memastikan layanan kesehatan mental semakin diperluas. Karena, tidak ada yang perlu ditertawakan untuk menjadi ‘obses’ dalam mendapatkan bantuan psikologis di era individualisasi, marketisasi, deregulasi ekonomi dan sosial. Karena, keberadaan manusia yang utuh tentunya perlu dimaknai dengan jiwa dan raga yang sehat serta pencapaian aktualisasi diri yang tidak hanya terbatas sebagai makhluk ekonomi.

Referensi

  • Becker, J., Hartwich, L., & Haslam, S.A. (2021). Neoliberalism can reduce well-being by promoting a sense of social disconnection, competition and loneliness. British Journal of Social Psychology, 60, pp. 947-965. Retrieved from https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/bjso.12438.
  • Rieff, P. (1966). The Triumph of the Therapeutic: Uses of Faith after Freud. Intercollegiate Studies Institute: United States.
  • Woodman, D., & Wyn, J. (2015). Youth and Generation: Rethinking Change and Inequality in the Lives of Young People. London: SAGE Publicaiton.
  • Woodman, D. (2020). Social Change and Generation. In J. Wyn,., H. Cahill., D. Woodman., H. Cuervo., Leccardi, C., & Chesters, J. (Eds).  Youth and the New Adulthood, pp. 31-46. Retrieved from https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-981-15-3365-5_3.
  • Wyn, J., & Woodman, D. (2006). Generation, Youth and Social Change in Australia. Journal of Youth Studies, 9 (5), pp. 495-514. Retrieved from https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/13676260600805713?needAccess=true.
News

Bincang Buku YouSure: Anak Muda dan Profesi Kreasi Konten Era Digital

Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah mengubah gaya hidup masyarakat yang semakin terintegrasi dengan alat-alat digital, termasuk kegiatan mencari informasi dan berita terbaru. Bertambahnya medium yang dapat digunakan sebagai wadah pemberitaan juga terus mendorong jurnalisme untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat. Sarana seperti media sosial dan video menjadi beberapa opsi baru. 

Di sisi lain, kemudahan yang difasilitasi oleh sarana baru ini berdampak pada meningkatnya minat dan ketertarikan pemuda untuk mengikuti berita terkini. Jurnalisme multimedia pun menjadi tantangan sekaligus potensi baru dalam lanskap pemberitaan dan penyebaran informasi bagi pemuda pada masa kini.

Bincang Buku YouSure yang diadakan pada Selasa (10/8) secara virtual melalui Zoom teleconference yang juga ditayangkan pada live streaming YouTube dan Instagram mengangkat buku berjudul “Panduan Menyunting Berita Multimedia: Alternatif dari Departemen Ilmu Komunikasi UGM” (akses rekaman kegiatan). Buku yang ditulis dan disunting oleh mahasiswa S1 dan dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM ini menjadi salah satu bentuk kontribusi pemuda dalam mengembangkan pemahaman mengenai pemberitaan multimedia.

Gilang Desti Parahita sebagai dosen di Departemen Ilmu Komunikasi UGM dan anggota tim editor buku menyampaikan sambutannya. Ia menerangkan bahwa buku ini ditulis berdasarkan pengalaman langsung mahasiswa kelas Penyuntingan Berita dan menekankan peran utama yang dipegang oleh mahasiswa sebagai penulis.

Salah satu pembahas yang hadir adalah Albertus Magnus Prestianta, pengajar dan peneliti di Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara. Albertus mengapresiasi buku ini sebagai dasar pembelajaran dan usaha awal dalam mengikuti perkembangan jurnalisme multimedia. Menurutnya, buku ini menjadi titik awal yang baik untuk membahas isu-isu yang jarang disentuh dalam jurnalisme, termasuk isu inklusivitas.

Menurut Albertus, pemuda dapat memainkan peran dalam mengarusutamakan diskusi mengenai inklusivitas bagi penyandang disabilitas. Hal ini dapat dilakukan melalui jurnalisme dan pemberitaan yang membahas keberadaan kelompok-kelompok penyandang disabilitas serta pengalaman mereka dalam masyarakat. Albertus berharap tim penulis dapat mengembangkan landasan 

Elin Yunita Kristanti, Wakil Pemimpin Redaksi Liputan6.com, turut memberikan apresiasi terhadap buku ini. Elin menganggap buku ini dapat menjadi referensi pembelajaran dasar tidak hanya bagi mahasiswa dan akademisi, tetapi juga jurnalis muda serta praktisi yang ingin menekuni proses penyuntingan berita multimedia di masa kini.

Ia juga menekankan pentingnya peran pemuda dalam mengembangkan dan mempertahankan praktik jurnalisme yang sesungguhnya. Seiring berkembangnya media pemberitaan, tantangan untuk menyampaikan berita dan informasi yang sesuai juga semakin besar.

Dua perwakilan dari mahasiswa anggota tim penulis buku menceritakan pengalaman mereka dalam proses penulisan, yaitu Nadia Intan F. dan Mario Hadiwijaya. Bagi Mario, proses penulisan buku ini juga merupakan sebuah proses pembelajaran baginya untuk mengasah kemampuan pemberitaan dan jurnalismenya. Ia berharap dapat menjadi jurnalis yang dapat menyampaikan berita dan informasi dari seluruh pelosok Indonesia.

Buku Panduan dapat diakses dan diunduh gratis di sini

 

Oleh: Safira Tafani Cholisi

News, Uncategorized, Uncategorized

Pemuda dan Pandangan Mengenai Pernikahan: Guys vs Girls

Oleh:
Prasakti Ramadhana Fahadi

Di bulan Februari lalu, YouSure mempersembahkan sebuah video tentang pendapat dan pandangan anak muda mengenai pernikahan dan pasangan seperti apa yang mereka dambakan ketika menikah nanti. Video ini dimaksudkan untuk mengangkat kembali diskusi tentang pemuda dan pernikahan yang menjadi tema Jurnal Studi Pemuda edisi khusus Perubahan Pemuda, Pernikahan, dan Keluarga. Dari hasil wawancara sejumlah anak muda yang ditampilkan dalam video tersebut, artikel ini akan mencoba memberikan perspektif lanjutan dari salah satu artikel dalam JSP yang berfokus kepada pandangan berbasis gender dengan judul Navigating the Future Husband: Perempuan Muda, Negosiasi Pernikahan, dan Perubahan Sosial yang menyimpulkan bahwa perempuan muda berada dalam posisi negosiasi antara tradisi kultural dan keluarga dengan modernisasi. Selain itu, jika Navigating the Future Husband hanya berfokus kepada perspektif perempuan muda, artikel ini akan mengungkap persepsi tentang pernikahan dan pasangan yang ideal dari sudut pandang perempuan dan laki-laki muda.

 

Tipe Isteri vs Tipe Suami Ideal 

Membicarakan isu gender sesungguhnya tidak hanya membicarakan perempuan saja, namun juga mendiskusikan bagaimana budaya patriarki mempengaruhi kehidupan laki-laki. Budaya ini menganggap bahwa laki-laki harus memiliki kualitas-kualitas dan peranan tertentu untuk dianggap “maskulin” atau sebagai “laki-laki sejati”, yang dikenal dalam diskusi kontemporer sebagai “toxic masculinity” * (Coles, 2017). Kualitas-kualitas ini misalnya laki-laki berfisik gagah dan kuat, tidak menampakkan emosi atau perasaan, dan lain sebagainya yang memberikan kesan bahwa si laki-laki dapat menjalankan “peran”-nya sebagai pelindung yang kuat dan “jantan”. Konsep peranan berdasarkan gender (gender roles) sering pula dikaitkan ketika kita membicarakan ide mengenai pernikahan. Di dalam konsep pernikahan heteronormatif tradisional, laki-laki sebagai suami berperan sebagai breadwinner dan protector sementara peranan perempuan sebagai isteri adalah sebagai homemaker dan child bearer. Di dalam masyarakat patriarkis, ketimpangan relasi kuasa semakin dilanggengkan dengan adanya gender roles (Koester, 2015). Salah satu manifestasi dari hegemonic masculinity (Connell, 2005) adalah ketika dominasi laki-laki dalam rumah tangga diperkuat dengan anggapan bahwa sebagai pencari nafkah utama, keberadaan laki-laki dalam dunia kerja perlu diutamakan daripada perempuan. Hal ini semakin memperparah ketimpangan relasi kuasa sebab posisi perempuan semakin dilemahkan dengan ketidakberdayaan, karena—tidak seperti pekerjaan profesional umumnya—pekerjaan domestik merupakan unpaid labor.

Dari hasil wawancara video YouSure, terdapat satu temuan yang menunjukkan sebuah pola yang menarik: pasangan ideal bagi informan laki-laki cenderung berfokus kepada karakter yang tidak demanding. Karakter pasangan ideal yang diinginkan informan laki-laki memang tidak secara eksplisit mengindikasikan “persyaratan” peran isteri sebagai homemaker yang harus tinggal di rumah dan mengasuh anak, namun masih menekankan kualitas-kualitas yang bersifat pasrah atau submissive. Sehingga dapat diinterpretasikan sebagai keinginan dalam menegaskan kuasa (asserting power). Menegaskan kuasa atas pihak lain merupakan salah satu cara mengekspresikan emosi dan tekanan ketika maskulinitas terancam (Pallegrini & Bartini, 2001). Pernyataan seperti “nggak neko-neko”, “nggak banyak mau”, dan “menerima apa adanya” yang dilontarkan informan laki-laki dalam wawancara ketika menjawab seperti apa pasangan yang ideal bagi mereka dapat diasumsikan sebagai negasi dari sifat-sifat demanding—bahkan submisif—yang dianggap mengancam kedudukan laki-laki sebagai pihak dominan dan yang memegang kuasa dalam pernikahan. Sementara itu, informan perempuan lebih berfokus kepada kualitas moral pasangan mereka , seperti “saleh” (bermoral baik), “berprinsip moral yang sama”, dan “gemati” (penyayang). Tidak ada informan perempuan yang menyebutkan sifat-sifat maskulin tradisional sebagai kualitas pasangan ideal mereka, misalnya gagah perkasa, pemberani, tegar, bahkan breadwinning. Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan informan perempuan, laki-laki dengan pendekatan feminin—seperti welas asih dan empatik—dalam berumahtangga dinilai lebih ideal dibanding pendekatan maskulin.

 

Usia Ideal dan Pandangan soal Pernikahan

                Di dalam Navigating the Future Husband, Putri et. al (2020) menekankan faktor perubahan sosial dalam bergesernya usia pernikahan pertama yang ideal bagi kelompok usia muda. Hal ini juga terpola di antara informan wawancara video. Baik informan perempuan dan laki-laki menginginkan usia ideal pernikahan di atas batas usia minimal sesuai hukum di Indonesia (19 tahun). Menariknya, informan perempuan menginginkan pernikahan di usia 27-30 tahun, sementara informan laki-laki di usia 25-26 tahun. Alasan perbedaan tipis usia ideal pernikahan antara anak muda perempuan dan laki-laki ini apabila ditinjau perspektif gender kritis, menunjukkan beberapa kemungkinan:

  1. Umumnya keberadaan persyaratan kerja yang lebih sulit bagi perempuan di Indonesia—seperti syarat lajang, batas usia, dan kesempatan promosi yang kecil bagi perempuan menikah—membuat perempuan muda ingin memaksimalkan potensi karir mereka selagi belum menikah.
  2. Terbatasnya ruang gerak perempuan setelah menikah yang disebabkan oleh ekspektasi gender roles bagi perempuan membuat perempuan lebih tidak terburu-buru untuk menikah. Gender roles yang dimaksud misalnya ekspektasi perempuan untuk (tetap) bertanggung jawab atas urusan domestik dan pengasuhan anak meskipun sama-sama memiliki karir penuh waktu dengan suami atau yang disebut dengan istilah “second shift” responsibilities (Ogletree, 2015).
  3. Anggapan bahwa peran perempuan dalam pernikahan adalah mengurusi urusan domestik juga membuat laki-laki tidak terbiasa dengan tanggung jawab dan keterampilan rumah tangga seperti memasak, membereskan rumah, dan mengurus anak. Akibatnya, ketika mereka dihadapkan dengan pekerjaan yang jauh dari kampung halaman, laki-laki cenderung ingin secepatnya berumahtangga dengan ekspektasi bahwa ada seseorang lain yang dapat diandalkan untuk mengurus kebutuhan mereka.

Poin ke tiga di atas sekaligus menjelaskan salah satu temuan lain di dalam wawancara, yakni informan laki-laki menganggap pernikahan adalah sebagai crutch atau penopang, sebagai institusi yang dapat memenuhi kebutuhan akan pendamping hidup bagi laki-laki. Di samping itu, studi yang dilakukan di Amerika (Amato et. al, 2003) menunjukkan bahwa perempuan memang lebih bahagia di dalam pernikahan apabila suami berpartisipasi dalam pekerjaan domestik, di kala kepuasan laki-laki malah cenderung menurun. Sebaliknya, informan perempuan melihat ide mengenai pernikahan sebagai sebuah konsep partnership. Temuan ini mengkonfirmasi lebih lanjut argumen Ariane Utomo dalam tulisannya Marrying Up? Trends in Age and Education Gaps Among Married Couples in Indonesia (2014) yang melihat pengurangan jumlah perempuan yang menikah dengan alasan peningkatan kualitas hidup (marrying up) dari tahun 1984 ke 2010. Hal ini dapat diartikan bahwa perempuan muda tidak lagi melihat pernikahan sebagai institusi di mana laki-laki bertanggung jawab sepenuhnya sebagai pencari nafkah utama atau sebagai pihak yang memiliki “the upper hand” dalam pernikahan, melainkan kedua belah pihak secara setara saling terlibat dalam urusan finansial maupun domestik.

 

Menikah itu Pasti ‘kan?

                Di antara perbedaan-perbedaan narasi informan muda laki-laki dan perempuan, terdapat satu pertanyaan yang mendapatkan jawaban seragam: 100% informan menyatakan mereka akan dan ingin menikah. Belum ada informan yang menawarkan pandangan bahwa menikah adalah sebuah opsi di dalam hidup yang bisa tidak diambil. Sesuai dengan penjabaran di poin sebelumnya, bagi informan laki-laki, pernikahan adalah sesuatu yang menguntungkan dan “hanya 5 persen saja enak tapi 95 persen enak banget”. Namun bagi informan perempuan, meskipun mereka sendiri tidak melihat pernikahan sebagai sesuatu yang “tidak ada bedanya dengan ketika pacaran” namun mereka tetap ingin dan akan menikah, walaupun hanya untuk menuruti keinginan orangtua. Hal ini senada dengan temuan yang dijabarkan dalam Navigating the Future Husband bahwa perempuan muda Indonesia, meskipun telah mengikuti pemahaman yang lebih progresif, namun masih bernegosiasi dengan tradisi dan keluarga. Secara normatif, pasangan laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan bukan/belum merupakan konsep yang favorable.

Menurut berbagai penelitian, perempuan memiliki perilaku seksis yang lebih minimal dan cenderung bersikap lebih egaliter dibandingkan laki-laki (Baber & Tucker, 2006; Glick & Fiske, 2001 di dalam Ogletree, 2015). Laki-laki secara kontinyu mendapatkan keuntungan dan hak istimewa dari sistem patriarkis, sehingga cenderung merasa nyaman dan enggan untuk merombak sistem. Dari hasil wawancara video YouSure ini, meskipun masih dalam posisi negosiasi, rata-rata perempuan muda sudah tidak lagi terjebak dalam internalisasi patriarki yang menganggap bahwa peranan di dalam pernikahan terbagi berdasarkan gender secara tradisional. Kesimpulannya, pendekatan feminis belum diterapkan oleh anak muda laki-laki sejauh yang sudah diterapkan oleh anak muda perempuan. Hal ini sangat disayangkan karena keterlibatan laki-laki dapat secara signifikan mempercepat penciptaan masyarakat adil gender, terutama laki-laki muda yang menjadi generasi produktif dan cakap bermedia digital, sehingga memiliki potensi besar untuk menggunakan privilej mereka untuk menyuarakan dan mengamplifikasi urgensi akan kesetaraan.

* Kesahihan konsep toxic masculinity masih menjadi perdebatan di kalangan akademik untuk digunakan sebagai konsep analitik karena definisinya yang dianggap masih belum stabil dan terkonseptualisasi dengan baik (Harrington, 2020).

Referensi

Coles, T. (2017, October 11). How The Patriarchy Harms Men And Boys, Too. Retrieved from Huffington Post Canada: https://www.huffingtonpost.ca/2017/11/10/patriarchy-men-boys_a_23273251/

Connell, R. W. (2005). Masculinities (2nd ed.). Berkeley, California: University of California Press.

Harrington, C. (2020). What is “Toxic Masculinity” and Why Does it Matter? Men and Masculinities, 20(10), 1-8.

Koester, D. (2015, May 21). Gender and power: six links and one big opportunity. Retrieved from The Developmental Leadership Program: https://www.dlprog.org/opinions/gender-and-power-six-links-and-one-big-opportunity#:~:text=Inequalities%20between%20men%20and%20women,Gender%20relations%20are%20power%20relations.&text=These%20gender%20roles%20tend%20to,that%20they%20are%20based%20on.

Ogletree, S. M. (2015). Gender role attitudes and expectations for marriage. Journal of Research on Women and Gender, 5, 71-82.

Pallegrini, A. D., & Bartini, M. (2001). Dominance in Early Adolescent Boys: Affiliative and Aggressive Dimensions and Possible Functions. Merrill-Palmer Quarterly, 47(1), 7.

Putri, R. D., Fahadi, P. R., Kusumaningtyas, A. P., Utomo, A., & Sutopo, O. R. (2020). Navigating the Future Husband: Perempuan Muda, Negosiasi Pernikahan dan Perubahan Sosial. Jurnal Studi Pemuda, 9(2), 90-103.

 

Feature Image by Nyne Comics

News, Uncategorized, Uncategorized

Maraknya Kekerasan Berbasis Gender Online di Kala Pandemi COVID-19

Oleh : Patrisius Favian

Seperti yang kita tahu, pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan berbagai perubahan bagi masyarakat Indonesia maupun dunia, termasuk meningkatnya tingkat Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang sangat drastis. Hingga Oktober 2020, KOMNAS Perempuan mencatat 659 data kekerasan telah terjadi. Angka ini naik hampir tiga kali lipat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni sebanyak 281 kasus. Fenomena ini sangat memprihatinkan, apalagi mayoritas dari korban KBGO adalah perempuan.

Peningkatan angka kasus kekerasan ini salah satunya diakibatkan oleh terjadinya pandemi Covid-19 yang melanda sepanjang 2020. Kebiasaan normal baru yang memaksa semua orang untuk tinggal di rumah saja secara otomatis meningkatkan intensitas penggunaan platform digital. Semua orang melakukan aktivitas sehari-hari melalui ruang digital untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi. Secara otomatis, segala bentuk interaksi baik fisik maupun sosial juga hanya dapat dilakukan secara terbatas. Akibatnya, tingkat stress meningkat dan menyebabkan meningkatnya tindakan KBGO secara eksponensial.

Keadaan ini didukung oleh kemajuan teknologi serta luasnya jaringan internet yang memengaruhi popularitas penggunaan media sosial. Dampaknya, bentuk-bentuk baru Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tercipta, yakni Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata, tindak kekerasan di dunia maya juga memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Namun jika tidak, maka kekerasan tersebut masuk dalam kategori kekerasan umum di ranah online.

Belum lama ini, pengguna media sosial telah dikejutkan oleh video syur berdurasi 19 detik milik inisial GA. Seperti yang telah diberitakan oleh banyak media, GA tidak ada niat sedikit pun untuk menyebarkan video syur tersebut. Ia mengatakan, kedua smartphone yang ia miliki sempat rusak dan hilang, sebelum kemudian disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kasus di atas dapat dikategorikan sebagai kekerasan Non-Consensual Dissemination of Intimate Images yakni suatu perbuatan membagikan atau menyebarkan foto, video, maupun ujaran yang berisi materi seksual seseorang tanpa persetujuan.

Jika kita telaah lebih dalam lagi, jenis-jenis KBGO sangat beragam.  Misalnya, kasus kekerasan seksual online yang dilakukan oleh seseorang berinisal LWD melalui aplikasi kencan daring. Ia mengaku sebagai akademisi yang juga lulusan S1 ISI, S2 UGM, hingga S3 di salah satu universitas ternama di Swiss. Melalui aplikasi kencan online Tinder, ia berhasil memperdaya ratusan perempuan untuk ditipu dan diajak untuk berhubungan seksual.

Perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai jenis tindakan KBGO yang disebut scammer, yakni suatu tindakan penipuan melalui aplikasi kencan atau media sosial dengan cara membangun kepercayaan kemudian membuat cerita palsu untuk meminta uang. Hal itu dapat di buktikan melalui postingan dari akun Instagram @aliskamugemash yang berusaha untuk mengadvokasikan perbuatan pelaku kekerasan seksual kepada masyarakat agar lebih berhati-hati jika bertemu dengan pelaku di aplikasi kencan online. Akun Instagram tersebut juga berusaha untuk meyakinkan para korban agar berani untuk melaporkan perbutaan dari pelaku.

Dua kasus di atas merupakan sedikit contoh dari banyaknya kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) di masa pandemi. Peningkatan penggunaan platform online, berbanding lurus dengan peningkatan angka kekerasan berbasis gender online dengan beragam bentuk. Kondisi ini memungkinkan kita tidak menyadari, bahwa kita sangat mungkin untuk terlibat dalam kekerasan berbasis gender online.

Bentuk kekerasan online tersebut penting untuk diketahui agar solusi yang diberikan lebih tepat dan efektif. Penegakan hukum, saat ini tidak hanya menjadi satu-satunya solusi yang dapat diterapkan untuk mencegah dan menangani teradinya tindakan KBGO. Intervensi yang mampu mengubah cara pandang pelaku terkait relasi gender dan seksual dengan korban perlu dilakukan. Tanpa adanya intervensi ini, pelaku bisa saja tetap memiliki cara pandang bias gender dan seksual setelah menjalani hukuman.

 

 

Referensi

Briantika, A. (2021, 1 21). Jangan Takut Lapor, Polri Jamin Identitas Korban “aliskamugemash”. Retrieved from Tirto: https://tirto.id/jangan-takut-lapor-polri-jamin-identitas-korban-aliskamugemash-f9v9

CNN Indonesia. (2020, 12 29). Gisella Anastasia, Penyanyi hingga Terjerat Kasus Pornografi. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20201229142627-234-587408/gisella-anastasia-penyanyi-hingga-terjerat-kasus-pornografi

Kusuma, E., & Arum, S. N. (2019). Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online. Denpasar: Safenet.

Parhani, S. (2020, 6 18). Infografik : Jenis-Jenis Kekerasan Berbasis Gender Online. Retrieved from Magdalene: https://magdalene.co/story/infografik-jenis-jenis-kbgo

Safenet Voice. (2020, 12 16). Peningkatan Kekerasan Berbasis Gender Online selama Pandemi. Retrieved from Safenet: https://id.safenet.or.id/2020/12/rilis-pers-peningkatan-kekerasan-berbasis-gender-online-selama-pandemi/

News, Uncategorized, Uncategorized

Growing up as a Chinese-Australian: My funny moments

By: Michelle Wu

Today I will share with you my experiences growing up with a dual identity youth. I was born in Australia to Chinese parents. Because of this, I have grown up as a mix and fusion of both cultures. Enjoy some of my funny experiences!

Hari ini, saya akan berbagi pengalaman saya sebagai pemuda yang dibesarkan dengan dua identitas yang berbeda. Saya dilahirkan di Australia, tetapi orang tua saya berasal dari Cina. Karena itu, saya dibesarkan dengan perpaduan kedua budaya. Semoga Kalian menikmati pengalaman saya yang lucu!

My schooling experience was different to my classmates. I went to school six days a week, whereas my friends only went to school five days a week. My weekends comprised of only Sunday as my Saturdays were spent attending Chinese school. At the beginning when I was in primary school, I often cried and complained because my friends were able to play on Saturdays, whereas I still had to attend school. However, over time I became used to it. At Chinese school, I learnt how to read and write in Chinese. I even remember attending Chinese abacus classes too to learn how to calculate figures using an abacus!

Sejak kecil, pengalaman sekolah saya berbeda dengan teman-teman sekolah saya. Saya harus pergi ke sekolah enam hari per minggu, padahal mereka hanya pergi ke sekolah lima hari. Untuk saya, ‘akhir pekan’ berarti hari Minggu saja, karena pada hari Sabtu saya harus pergi ke sekolah bahasa Cina. Awalnya, ketika masih di sekolah dasar, saya selalu menangis dan mengeluh karena teman-teman saya lain boleh bermain di hari Sabtu, tetapi saya masih harus ke sekolah. Namun, seiring waktu, saya menjadi terbiasa. Di sekolah Bahasa Cina, saya mengambil kelas seperti membaca, menulis, dan percakapan dalam Bahasa Cina. Saya juga pernah mengambil kelas sempoa untuk belajar bagaimana menghitung angka melalui menggunakan sempoa!

My family also celebrates Christmas differently to the traditional way. Christmas is one of the most widely celebrated holidays in Australia. However, my parents never celebrated Christmas before they came to Australia. Over the years, we have developed our own version of celebrating Christmas, which is a mix of Australian traditions and Chinese food. This entails hanging Christmas lights, going to Christmas carols, celebrating with friends and family, but instead of the traditional turkey roast, we have Peking Duck as our main dish!

Keluarga saya merayakan Hari Natal dengan cara yang berbeda dari cara tradisional. Hari Natal adalah hari libur yang dirayakan secara besar di seluruh Australia. Namun sebelum orang tua saya pindah ke Australia, mereka tidak pernah merayakan Hari Natal. Selama bertahun-tahun, kami menciptakan versi kami sendiri yang unik untuk merayakan Hari Natal, yaitu berpanduan tradisi Australia dan makanan Cina. Mulai dari menggantung dekorasi Hari Natal di rumah, pergi ke konser tradisi untuk mendengarkan lagu-lagu tentang Hari Natal dan bertemu bersama keluarga dan teman-teman, namun uniknya, alih-alih jamuan tradisional kalkun panggang, kami makan makanan khas dari Cina, seperti bebek Peking!

I have also had funny experiences related to my identity when on holidays in China. My cousin took me to the bank to help me exchange some money from Australian dollars to Chinese Yuan. As we approached the teller, my cousin told him that there is an Australian foreigner who wants to exchange money. He then looked at both of us confusingly and asked for where the Australian was. I laughed because evidently, he did not think of me as an Australian!

Saya juga mengalami banyak momen lucu yang terkait dengan identitas saya ketika liburan di Cina. Sepupu saya mengantar saya ke bank untuk menukar Yuan Cina dengan dolar Australia. Sepupu saya bilang ke kasir bahwa ada orang Australia yang ingin menukar dolar Australia“. Yang lucunya, si kasir melihat sepupu saya dan saya dengan bingung, lalu bertanya di mana orang Australianya. Saya tertawa karena ternyata dia tidak menganggap saya sebagai orang Australia!

Since I was young, I had fond memories of celebrating Chinese New Year in China. The biggest reason was I was able to go and see my grandmother, as I didn’t see them very often. And of course as a little child, my relatives would give me a lot of red pockets and I would feel extremely happy as I felt like I won the lottery as a child! I remember a lot of my Australian friends were a little jealous because they didn’t have a celebration with traditions like these.

Sejak kecil, saya selalu punya kenangan indah tentang perayaan Tahun Baru Imlek di Cina. Utamanya adalah karena saya bisa merayakan liburan ini bersama saudara yang jarang saya temui seperti nenek saya. Tentunya sebagai anak kecil, saya selalu dapat banyak angpao dan saya merasa sangat senang seperti saya memenangkan lotre! Saya masih ingat semua teman-teman orang Australia saya di sekolah merasa sedikit cemburu karena mereka tidak ada perayaan dan tradisi seperti ini.

Now having grown from a child to a young adult, I have realised many things about my dual identity through these funny experiences. I have come to appreciate my identity and embrace the cultural elements which are different. Through this awareness, I am able to better understand the perspectives of others and bridge cultural differences with people from various cultures.

Sekarang setalah saya besar,saya menyadari begitu banyak nilai dari identitas saya sendiri melalui pengalaman lucu yang tersebut. Saya menghargai identitas saya dan merangkul elemen-elemen dari budaya yang berbeda. Dari kesadaran ini, saya bisa memahami lebih banyak tentang perspektif orang lain dan menjembatani perbedaan kebudayaan dengan orang-orang dari kebudayaan lain.

Are you also a youth with dual identity? What are your funny experiences?

Apakah kalian juga seorang pemuda yang punya dua identitas? Ceritakan dong pengalaman-pengalaman lucu kalian!

 

Future Image: https://www.pexels.com/photo/globe-on-green-plants-4715453/ 

News, Uncategorized, Uncategorized

Pengetahuan dan HAM: Refleksi atas Kesenjangan yang Hadir

Oleh:

Arya Malik

Yosephine Lucky Sekarlangit

Lalita Anindya

 

Realita Pendidikan sebagai Dimensi Pengetahuan mengenai HAM

Lahirnya generasi-generasi baru, yang menghidupi konteks di mana mereka tumbuh dalam perkembangan zaman dan tercetusnya ragam perubahan sosial, seiring perjalanannya akan menemui kesadaran mengenai hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai manusia. Mengenai hal tersebut, sedikit banyak dari kita mungkin pernah mendengar atau membicarakan tentang hak asasi manusia atau yang dikenal dengan HAM. Secara sederhana, HAM dapat dipahami sebagai hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir, mulai dari hak untuk hidup, hak untuk dihargai dan dihormati sebagai manusia, yang kemudian berkembang menjadi hak-hak lainnya saat seseorang menjalani kehidupannya sebagai bagian dari masyarakat. 

Pemahaman mengenai HAM merupakan bagian dari diskursus pengetahuan, yang bekerja dalam kehidupan masyarakat. Pengetahuan ini dapat menjadi basis yang fundamental bagi setiap manusia untuk berinteraksi satu sama lain, dan memungkinkan terbentuknya peradaban yang memanusiakan manusia. Hal ini berhubungan dengan nilai-nilai HAM yang menjaga martabat manusia untuk saling menghormati saat hidup berdampingan secara damai, setara, tanpa memandang latar belakang etnis, gender, ras, maupun kelas, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai sesama manusia. 

Kesadaran diri seseorang terhadap seperangkat hak dan kewajibannya sebagai manusia, dapat dilihat sebagai hasil dari proses pemahaman yang berlangsung selama hidupnya. Proses di mana seseorang menemukan pengetahuan tentang HAM sangatlah penting, karena berhubungan dengan pengetahuan seseorang untuk memahami haknya dan juga hak orang lain. Dalam proses tersebut, diperlukan medium yang mendasarinya, salah satunya melalui pendidikan. Di samping itu, pendidikan juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang telah diterima secara luas, seperti dalam publikasi Deklarasi HAM 1948 dan Deklarasi UNESCO 1990, tentang pendidikan untuk semua (Jaramillo, N. E., dkk, 2012). Pada pasal 31 UUD 1945 amandemen, di mana ayat 1 berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, sedangkan ayat 2 “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Legitimasi HAM juga tertuang dalam ranah pendidikan nasional melalui UU No 20 Tahun 2003, Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Pertemuan antara pendidikan dan HAM menjadi begitu penting, menurut Tilaar (2001),  untuk meningkatan kesadaran, pengakuan, penghargaan, dan  pemajuan  hak-hak  asasi  manusia  dalam  kehidupan nyata  sehari-hari  individu  dan  masyarakat  Indonesia  dalam jangka waktu panjang, salah satu langkah awal yang perlu dilakukan adalah menelaah sejauh mana  dimensi-dimensi  HAM  diadopsi,  diintegrasikan  dan direalisasikan dalam sistem pendidikan nasional kita (Tilaar, H. A. R., dkk, 2001).

Pada titik ini, korelasi antara pendidikan dengan pengetahuan mengenai HAM dapat dianggap sebagai proses yang seharusnya berkesinambungan. Namun, realita pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya dapat mengimplementasikan secara nyata tentang ‘pendidikan untuk semua’. Kesenjangan dalam akses pendidikan masih terjadi di Indonesia. Berbagai alasan, seperti infrastruktur pendidikan yang belum memadai, kurangnya tenaga pendidik, keterbatasan dalam mengakses, hingga faktor ‘biaya’ pendidikan yang tidak murah, masih dijumpai sebagai problematika pendidikan di Indonesia. Dari pendidikan yang tidak merata, kesempatan untuk menyerap pengetahuan pun juga tidak merata, dan memungkinkan pengetahuan tentang hak asasi manusia tidak dapat terdiseminasi secara inklusif dan menyeluruh ke setiap lapisan masyarakat.

 

Media sebagai (Alternatif) Medium Pengetahuan?

Selain diskursus pengetahuan HAM dalam pendidikan, distribusi informasi turut menjadi medium penting dalam proses diseminasinya. Bahasan mengenai distribusi informasi selanjutnya akan terfokus pada mediumnya tersendiri, yaitu media. Media dalam tatarannya sebagai salah satu faktor berkembangnya pendidikan, dapat dikatakan sebagai medium utama dan yang memiliki dampak terbesar. Media dalam perkembangannya terbagi dalam dua bagian, arus utama dan alternatif seakan menggambarkan proses pendistribusian informasi yang terjadi. 

Di titik ini, perlu diberikan pemaparan terlebih dahulu mengenai media arus utama dan alternatif dalam perannya sebagai medium pendistribusian informasi. Media arus utama, yang dapat ditemukan dalam bentuk tayangan televisi, siaran radio, ataupun konten yang disediakan oleh media daring, telah merevolusi cara berbagi pengetahuan, berkomunikasi dan berkolaborasi satu sama lain, sambil terlibat dalam berbagai percakapan. Namun, media bukanlah cermin realitas dan isinya tidak selalu lengkap, akurat, dan tidak bias (Geraee, N., dkk, 2015). Media arus utama itu sendiri merupakan hasil dari citra masyarakat untuk memenuhi kebutuhan seperti memperoleh berita dan informasi, hiburan, dan sosialisasi. Di sisi lain, media alternatif dikonseptualisasikan secara sederhana, sebagai media yang diproduksi oleh mereka yang “dikucilkan secara sosial, budaya dan politik” (Dowmunt, T., & Coyer, K, 2007). Jadi dengan kata lain, media alternatif dapat ditemukan dalam bentuk konten yang mengangkat hal-hal kecil, sederhana, yang tidak diangkat oleh media arus utama.

Hal ini kemudian berkorelasi dengan implementasi pengetahuan untuk semua lapisan masyarakat yang kemudian juga tercatut dalam pemaparan Hak Asasi Manusia, yang dapat  dikatakan belum mencapai tingkat optimum. Aktualitas yang terbentuk, dari bahasan sebelumnya, mengerucut ke arah bagaimana media arus utama mewacanakan informasi, sebagai upaya dalam pemupukan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, peran media kemudian berhubungan dengan tampilan muatan informasi mengenai hak asasi manusia, yang cenderung minim mengedukasi masyarakat secara utuh. Bahasan mengenai media menampilkan informasi dapat dilihat dengan perspektif Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis), dimana sasaran dalam analisisnya adalah bahasa. Analisis Wacana Kritis yang selanjutnya akan disebut sebagai AWK, menyoroti bahwa pemaknaan bahasa itu sendiri sudah mengandung ideologi, membawa kepentingan dan merupakan instrumen kekuasaan (Haryatmoko, 2017). Pembongkaran hubungan bahasa dan ideologi akhirnya dibutuhkan, dengan cara pemaknaan bahasa di dalam hubungan kekuasaan dan hubungan sosial turut ditampilkan.

Media arus utama dalam perannya sebagai medium yang ramah dijangkau oleh masyarakat, dirasa kurang dalam memenuhi kewajibannya. Pertama, diskursus penampilan informasi mengenai HAM yang kemudian diwacanakan di dalamnya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu kurangnya pengawalan distribusi informasi sebagai upaya pencerdasan masyarakat terhadap hak asasinya. Pemberitaan HAM di media arus utama dapat dilihat juga dengan perspektif AWK, di mana dalam pengemasan berita cenderung membahas kasus pelanggaran dengan sedikit tambahan wacana yang dirasa mampu mendatangkan atensi masyarakat. Berita-berita mengenai HAM yang dibawakan dalam media arus utama kerap menyinggung permasalahan dengan pengambilan pemaknaan yang lebih sempit dari permasalahan aslinya. Realita pengetahuan mengenai HAM yang terbentuk dalam kehadiran media arus utama (media cetak, televisi, radio, daring) pada akhirnya pun rendah, dilihat dari terciptanya kultur pemberitaan yang sama di tiap media arus utama. Kedua, peran aktif media sebagai pengawas kinerja pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negara jika ditarik dari bahasan di atas ini, juga terlihat belum terpenuhi. Idealnya jika terdapat terdapat pelanggaran HAM, media arus utama secara khusus diharapkan dapat mengawal isu tersebut hingga akhirnya mencapai titik terang. Pemenuhan peran yang masih belum mencapai tingkat yang diharapkan kemudian semakin menguatkan bahasan, bahwa wacana yang dirangkai oleh media arus utama ini hanya sebatas kepentingan suatu ideologi ataupun kekuasaan, yang dapat dibersamai dengan perspektif AWK.

Media alternatif, dalam substansi penyebaran informasi dirasa memiliki pembahasan HAM lebih menyeluruh dari segi lingkup permasalahan maupun respon yang tercipta atas permasalahan HAM tersebut. Konsep media alternatif pada awalnya bukan sebagai pembanding dari media arus utama, tetapi media alternatif kokoh untuk menawarkan pemikiran yang lebih kompleks, memberi muatan informasi yang lebih komprehensif. Bila dilihat dengan perspektif AWK, wacana yang ditawarkan oleh media alternatif perlu mengalami proses yang panjang untuk menjadi suatu media alternatif yang ideal. Media alternatif perlu memperhatikan konteks, dan aktif memberi ruang partisipasi dari audiens, karena jika itu diacuhkan akan mungkin diberi label arus utama dalam waktu dan tempat yang berbeda (Dowmunt, T., & Coyer, K, 2007). Penggiat media kemudian harus membersamai pemahaman, bahwa dampak yang dibawa dari media sebagai medium pencerdasan HAM itu dapat memunculkan potensi positif. Pengetahuan mengenai HAM dapat diimplementasikan apabila media-media yang memproduksi informasi dan pengetahuan mengenai HAM secara komprehensif, didorong untuk lebih tampil dalam mengawal isu HAM di muka publik. Jika beberapa hal ini tidak diperhatikan, media akan gagal untuk tampil sebagai medium alternatif pengetahuan.

Faktor lain dari adanya pembagian media yaitu arus utama dan alternatif, adalah ketimpangan dalam mengakses medium tersebut, yang juga memberi dampak pada implementasi pengetahuan untuk tiap lapisan masyarakat. Lemahnya kemudahan akses pengetahuan dapat dilihat dari tidak tersedianya akses lembaga pendidikan yang ramah untuk tiap lapisannya, maupun internet sebagai pendukung variabel pendidikan di masa sekarang. Disparitas akses di situasi sekarang terlihat sangat nyata, dibersamai dengan fakta bahwa dunia pendidikan sedang mengakselerasi diri ke arah digital. Pengetahuan yang seharusnya tersedia untuk diakses oleh semua masyarakat, akan menjadi suatu hal yang “mahal” dan tidak dapat diraih bagi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke berbagai mediumnya.

 

Siasat dalam Mereduksi Kesenjangan Pengetahuan

Ketimpangan perihal akses seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, memunculkan kesenjangan pengetahuan mengenai HAM yang beresiko. Resiko tersebut salah satunya muncul pada pemahaman mengenai HAM yang tidak holistik, termasuk dalam ranah keluarga sebagai lingkup kolektif paling primer. Hal ini dapat berakibat fatal, seperti munculnya konflik masyarakat yang terjadi karena ketidaksadaran seseorang atas haknya, atau ketidakpahaman seseorang untuk menghormati hak orang lain. Terdapat sejumlah alternatif yang dapat diterapkan untuk merespon problematika tersebut, salah satunya dengan membuka ruang-ruang percakapan interaktif yang memuat diskursus pengetahuan mengenai HAM secara dialektik dan refleksif.

Bagaimana pengetahuan mengenai HAM turut terbentuk dengan perubahan zaman, proses interaksi dialektis dapat diterapkan untuk memahami bagaimana diskursus pengetahuan mengenai HAM. Suatu zaman senantiasa ditandai oleh kompleks gagasan-gagasan, konsep-konsep, harapan-harapan, keraguan-keraguan, nilai-nilai, dan tantangan-tantangan dalam interaksi dialektis dengan lawan-lawan itu semua, ke arah suatu penyelesaian (Freire, Paulo, 2008). Dialektika bekerja dengan proses yang terjadi secara dua arah dengan berdialog dan berdiskusi, dan proses pembelajaran secara dialektis ini memungkinkan refleksivitas seseorang terpantik. Kaitannya dengan pemahaman mengenai HAM, pengetahuan menyangkut HAM yang di desiminasi secara dialektis dapat direfleksikan pada realita masyarakat di mana seseorang berada. 

Berangkat dari problematika ketimpangan ini, diperlukan kehadiran subjek-subjek yang menjadi fasilitator pada berjalannya proses diseminasi pengetahuan mengenai HAM. Fungsi dan peran fasilitator dalam konteks ini adalah mengarusutamakan pengetahuan mengenai HAM dengan memastikan proses pembelajaran dalam memahami pengetahuan mengenai HAM berjalan secara dialektis. Peran fasilitator menjadi krusial, bukan hanya sebagai pendidik, tapi fasilitator juga perlu mempraktekan relasi yang setara dengan subjek-subjek yang dihadapinya. Dengan relasi yang setara, dialektika menyangkut pengetahuan tentang HAM dapat direfleksikan pada pengalaman terdekat melalui proses ini, untuk menekankan pentingnya kesadaran atas kesetaraan sebagai sesama manusia.

Di sisi lain, mengingat ketimpangan yang muncul dalam hal akses terhadap pendidikan dan informasi, kecenderungannya berhubungan dengan latar belakang seseorang–kemampuan ekonomi, kualitas pendidikan, status sosial, dan sebagainya. Pada titik ini, kehadiran negara sangat dibutuhkan. Negara berperan penting untuk mereduksi ketimpangan tersebut dengan menjamin fasilitas yang mendukung proses diseminasi pengetahuan berlangsung, seperti infrastruktur pendidikan, bahan bacaan dengan harga murah, akses internet yang merata di setiap wilayah, dan sebagainya. Apabila fasilitas pendukung telah memadai, merata, dan dapat mencakup setiap lapisan di masyarakat, sangat mungkin diseminasi pengetahuan dapat terdistribusi dengan lebih baik. Selanjutnya, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, proses pembelajaran mengenai HAM secara dialektik nan refleksif memerlukan pihak-pihak yang secara sukarela menjadi fasilitator dalam proses diseminasi pengetahuan mengenai HAM tersebut. Dalam realitanya, mereka yang kebanyakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang memberi perhatian pada isu tentang HAM, seperti NGO (Non-Government Organization) ataupun kelompok-kelompok volunteer lainnya, berperan menjadi fasilitator dalam proses diseminasi pengetahuan tersebut.

Namun, selain terjaminnya fasilitas pendukung serta hadirnya fasilitator, partisipasi keluarga dalam proses ini menjadi point yang menentukan. Keterlibatan keluarga berperan untuk membentuk agensi dari diskursus pengetahuan mengenai HAM atas proses dialektik tersebut. Sehingga, memungkinkan wacana yang terkandung dalam pengetahuan tentang HAM, dapat direfleksikan pada nilai-nilai yang berlaku di dalam keluarga. Hal ini selanjutnya berhubungan dengan bagaimana dinamika dalam relasi dan interaksi pada sebuah keluarga, sebagai ranah kolektif primer bagi seseorang. Melalui interaksi yang terjalin antara orangtua dengan anak, antara sanak saudara, dan sebagainya. Bagaimana proses tersebut berlangsung, dijelaskan pada bagian berikut ini.

 

Keluarga, Konstruksi Pengetahuan, dan Kognisi mengenai HAM

Konstruksi pengetahuan akan HAM seperti yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, terbentuk melalui faktor internal (proses pemahaman dari diri sendiri) dan sejumlah faktor eksternal, yang keduanya saling berkesinambungan. Lembaga keluarga menjadi salah satu bagian dari faktor eksternal tersebut, dan merupakan lembaga primer dalam melakukan sosialisasi dan identifikasi nilai terhadap individu. Nilai-nilai tersebut tertuang dalam beragam bentuk, seperti nasihat, habit, dan lain-lain. Oleh karenanya, posisi keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam meletakkan landasan nilai dan moralitas, di mana pada konteks ini terkait diskursus pengetahuan mengenai HAM. 

Proses internalisasi nilai tersebut idealnya berjalan beriringan, karena masing-masing memiliki porsi tersendiri yang pada akhirnya terangkum menjadi konstruksi yang membentuk individu. Melalui nilai yang disalurkan oleh keluarga, diskursus pengetahuan akan timbul dan mengkristal. Terbentuknya habit membaca dalam keluarga menarik untuk didiskusikan, karena habit membaca memiliki peran dalam proses pembentukan kognitif individu. Dengan terbentuknya habit membaca, dapat menjadi medium di mana agensi terkait proses dialektika mengenai HAM diimplementasikan secara refleksif.

Leksono (1999) mengatakan bahwa membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkitan kepekaan terhadap kemanusiaan. Pernyataan tersebut menggambarkan keterlekatan yang begitu erat antara habit membaca dalam mengkonstruksi diskursus pengetahuan sehingga dapat memantik individu dalam memahami sebuah fenomena. 

Terhadap persoalan habit membaca, sejumlah penelitian telah menunjukkan bagaimana ‘rumah’ dapat berkontribusi secara substansial terhadap keberhasilan membaca. Hess et al., (1982) menemukan bahwa interaksi verbal, minat membaca, bacaan milik orang tua, akses terhadap bahan bacaan, kesempatan untuk membaca, serta momen membaca antara orang tua dan anak menjadi aspek pendukung terbangunnya habit membaca di rumah. 

Menilik konteks Indonesia, tidak semua keluarga berhasil menerapkan habit membaca. Hal ini lantaran setiap keluarga memiliki latar belakang berbeda dengan keluarga lainnya. Greaney dan Hegarty (1985) dalam artikel Parental Influences on Reading memaparkan bahwa korelasi antara status sosial ekonomi keluarga dan terlebih pendidikan orang tua memiliki andil dalam perbedaan proses sosialisasi nilai dalam keluarga. Lebih lanjut Greaney dan Hegartey mengatakan bahwa nampaknya semakin besar tingkat pengalaman orang tua dengan pendidikan formal, mereka semakin mempersiapkan anak-anak mereka untuk menghadapi tuntutan sekolah dengan memberikan mereka keterampilan, sikap, dan nilai kesiapan yang sesuai. Selanjutnya, Greaney (1986) memaparkan sejumlah aspek penghambat sebuah keluarga dalam menerapkan habit membaca, seperti tingkat pendapatan keluarga, pendapatan nasional, dialek lokal, dan lokasi geografis sangat berpengaruh terhadap ketersediaan bahan bacaan milik umum atau dalam keluarga.  

Sejumlah pemaparan diatas telah menunjukkan bagaimana realita dalam ranah keluarga turut memiliki keterbatasan. Mungkin akan lebih sulit apabila masing-masing pihak berusaha mengimplementasikan pengetahuan mengenai HAM dengan caranya masing-masing dan berjuang ‘sendirian’. Baik negara melalui lembaga pendidikan, media pada kanal-kanal informasinya, dan keluarga melalui nilai-nilainya, sebenarnya mampu untuk saling berperan satu dengan lainnya, sebagai alternatif ketimpangan akses dan kesenjangan pengetahuan atas HAM.

Selaras dengan konsep dialektika yang telah diusung pada bagian sebelumnya, hal ini justru memperkuat dugaan bahwa proses diseminasi mengenai HAM lebih sesuai bila dijalankan oleh setiap pihak, di mana negara, masyarakat, dan keluarga turut memiliki andil dalam mengarusutamakan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan. Dengan penekanan pada proses dialog dan diskusi, peran keluarga sebenarnya dapat menjadi pihak terdepan dalam mendukung keberhasilan dalam mengimplementasikan konsep tersebut. Keluarga dapat menjadi ranah dimana agensi terbentuk, seperti pada praktek ‘membaca’ teks-teks terkait hak asasi manusia, yang diterapkan secara dialektis dan kontekstual. Sehingga, memungkinkan subjek yang bersangkutan tidak hanya sebatas memahami informasi secara literal dan tekstual, namun juga dapat merefleksikan pengetahuan tersebut secara empiris dan kontekstual.

 

REFERENSI

  • Dowmunt, T., & Coyer, K. 2007. Introduction. In K. Coyer, T. Dowmunt & A. Fountain (Eds.), The Alternative Media Handbook. (pp. 1-12). New York: Routledge. 
  • Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
  • Geraee, N., Kaveh, M. H., Shojaeizadeh, D., & Tabatabaee, H. R. 2015. Impact of media literacy education on knowledge and behavioral intention of adolescents in dealing with media messages according to Stages of Change. Journal of advances in medical education & professionalism, 3(1), 9–14.
  • Greaney, Vincent. 1986. Parental Influences on Reading, dalam The Reading-Writing-Thinking Connection. Journal The Reading Teacher, 39(8), 813-818.
  • Haryatmoko. 2017. Critical Discourse Analysis: Landasan, Teori, Metodologi, dan Penerapan. Jakarta: Rajawali Press.
  • Hess, Robert D., Susan D. Holloway, Gary G. Price and W. Patrick Dickson. 1982. Family Environments and the Acquisition of Reading Skills: Toward a More Precise Analysis, dalam Families as Learning Environments for Children, diedit oleh Luis M. Laosa dan Irving E. Sigel. New York: Plenum Press
  • Jaramillo, N. E., dkk. 2012. Chapter Fourteen: Education, dalam Brunsma, D. L., Smith, K. E. & Gran, B. K., Handbook of Sociology and Human Rights. London: Paradigm Publishers
  • Leksono, Karlina, dkk. 1999. Bab III: Membaca dan Menulis: Sebuah Pengalaman Eksistensial, dalam Taryadi, Alfons, Buku dalam Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  • Tilaar, H. A. R., dkk. 2001. Dimensi-Dimensi HAM dalam Kurikulum Persekolahan di Indonesia. Bandung: PT Alumni
News, News, Uncategorized, Uncategorized

Kilas: Usaha Mempertahankan Tenun Hasil Tangan Ibu-Ibu Dusun Sejatidesa, Moyudan

Bunyi gletakan alat tenun bukan mesin (ATBM) terdengar keras di pondokan Dusun Sejatidesa, Godean, pada Sabtu (29/2). Sekitar 8 ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok koperasi tenun Pelangi Sejati pun terlihat sibuk menjelaskan ke Tim YouSure tentang proses pembuatan tenun, mulai dari mewarnai benang hingga mengoperasikan ATBM. Kegiatan ini merupakan salah satu dari proses riset YouSure untuk mendokumentasikan sejarah, cara pembuatan dan variatif produk tenun tradisional hasil tangan Dusun Sejatidesa. Riset ini merupakan hibah dari BAPPEDA Sleman tentang potensi lokal di desa-desa Sleman yang sudah dilakukan mulai dari tahun 2018 lalu.

“Di tengah terkenalnya batik dari Yogyakarta, aku rasa tenun juga menjadi menarik untuk diulas lebih dalam lagi khususnya di daerah sini,” ungkap Magdalena Putri selaku asisten peneliti Tim YouSure.  Menurutnya, hanya Dusun Sejatidesa yang masih bertahan menggunakan ATBM di Kecamatan Moyudan. Semua masih sangat tradisional, mulai dari benang yang diwarnai dengan rendaman kayu jati hingga alat tenunnya sendiri yang terbuat dari kayu. Untuk membuat kain tenun sepanjang 20 meter, biasanya ibu-ibu ini memakan waktu 5 hari jika dikerjakan terus menerus. Ini bukan hanya sebuah kegiatan menenun, namun ada sebuah budaya yang hidup.

Oki Rahadianto selaku Ketua Tim sekaligus Direktur Eksekutif YouSure menjelaskan, ide riset ini berawal dari terlihatnya problem generasi dimana pemuda-pemuda di Dusun Sejatidesa tidak memiliki minat meneruskan pekerjaan orangtuanya sebagai penenun. Padahal, menurutnya tradisi ini merupakan local wisdom yang mempunyai ciri khasnya sendiri. Kurangnya minat ini disebabkan oleh faktor globalisasi, berkembangnya media informasi serta naiknya tingkat pendidikan pemuda dibanding orangtuanya. Melihat hal tersebut, usaha dokumentasi ini pun dilakukan agar pengetahuan tentang tenun ini tidak hilang. “Nantinya kita akan buat modul populer tentang tenun ATBM ini untuk menarik minat anak muda yang ingin mempunyai pekerjaan alternatif terkait hal ini,” katanya.

Asteria Harsiah sebagai koordinator UB (Usaha Bersama) Pelangi Sejati ini juga mengaku senang dengan adanya usaha pembuatan modul populer ini. Mencoba mengangkat produk tenun lebih membawa narasi anak muda supaya lebih popular di kalangan umum. Sebagai seorang penenun yang memiliki anak, dirinya juga merasa faktor gengsi menjadi penghambat adanya regenerasi dalam tradisi ini. Di satu sisi, pemuda banyak yang memilih dan bercita-cita menjadi pegawai kantoran. Hal ini juga didukung dengan pemikiran orangtuanya yang merasa sayang jika sudah menyekolahkan anaknya namun berakhir menjadi penenun. “Harapan saya sih walaupun tidak menjadi penenun, namun setidaknya pemuda disini mau ikut memasarkan dan memakai produk tenun kita,” harapnya.

Oleh: Fatima Gita

News, News, Uncategorized, Uncategorized

Anak Muda dan Relasi Interpersonal Kontemporer: Menjalin Hubungan yang Sehat

Oleh: Arya Malik

 

Dinamika dari sebuah relasi interpersonal, menjadi realita yang dihadapi oleh tiap-tiap manusia sebagai makhluk sosial. Layaknya relasi romantis, menjadi keniscayaan yang mewarnai kehidupan sosial dari kalangan muda. Dalam perkembangan zaman yang semakin kompleks dengan hadirnya digitalisasi dan berbagai bentuk kemajuan teknologi, kehidupan romantis dari kalangan muda turut berpacu dalam ruang-ruang kontemporer dewasa ini. Tidak jarang dalam sebuah relasi romantis muncul kompleksitas-kompleksitas yang terkadang menimbulkan resiko dan kerentanan bagi sebuah hubungan. Pada titik ini, menjadi menarik untuk membuka ruang percakapan yang lebih kaya, untuk menakar kembali bagaimana kompleksitas tersebut bekerja dalam dinamika relasi romantis yang dilalui oleh kalangan muda. Dalam membahas hal tersebut, melihat kembali perbedaan intepretasi antar subjek pada sebuah hubungan, dapat menjadi pendahuluan untuk membuka diskursus mengenai relasi romanits pada anak muda.

Desintha adalah salah seorang dosen Sosiologi di Universitas Gadjah Mada, dirinya membuka pembahasan mengenai relasi interpersonal anak muda. Menurutnya, “terdapat perbedaan imajinasi terkait makna yang menjadi interpretasi saat menjadi anak muda, menjadi remaja, atau mengidentifikasi diri sebagai laki-laki atau perempuan”. Seperti perempuan pada zaman yang memiliki orientasi lebih pada pendidikan, dan memiliki mobilitas yang berbeda. Sehingga, memiliki pacar ini menjadi konstruksi untuk diakui sebagai perempuan. Sementara pada laki-laki, menurutnya maskulinitas dalam konteks Indonesia cenderung punya banyak diskursus tetang heterosexualitas. Padahal, maskulinitas itu tidak hanya seputar heterosexuality, namun tidak ada pendidikan tentang bagaimana menjadi laki-laki yang beyond dari patriarchal masculinity. Maskulinitas dalam konteks Indonesia ada dalam bayang-bayang imajinasi patriotik, fatherhood, narasi-narasi bahwa laki-laki itu harus fighting, hal ini terbawa dalam konteks seksual dimana imajinasi maskulinitas masih seperti itu. Sedangkan perempuan cenderung tertahan dengan narasi-narasi normatif, untuk mengekspresikan identitasnya sebagai perempuan

Lebih lanjut, dewasa ini era informasi memungkinkan relasi dapat terjalin secara daring. Kenyataan ini memunculkan perubahan realitas dalam relasi romantis kalangan muda. Indigo, sebagai salah satu perwakilan dari Komunitas Reprodukasi, menjelaskan bagaimana pengalamannya di Melbourne, mendapati bahwa anak muda merasakan insecurity seperti dalam hubungan tanpa status yang tidak jelas. Jennifer, perwakilan dari Seribu Tujuan, berpendapat bahwa online dating dan sebagainya, memudahkan seseorang untuk menjalankan hubungan yang ‘seperti’ pacaran. Menurut Desintha online dating ini menjadi sebuah alternatif, yang dalam perjalanannya berbagai macam relasi tidak equal akan tetap berlanjut di platform online, “ruangnya saja yang berbeda tapi kasusnya akan tetap sama”. Hal ini berhubungan dengan kepentingan laki-laki dan perempuan yang berbeda, antara apa yang diinginkan oleh perempuan dengan apa yang diimajinasikan oleh laki-laki, memiliki perbedaan dalam intepretasi subjektifnya.

Di samping itu, terdapat beberapa sudut pandang yang dapat digunakan dalam melihat kompleksitas relasi. Menurut Desintha, “secara sosiologis self itu dibentuk dari interaksi. Seperti perempuan, identitas ini dibentuk dari interaksi, dari pengalaman yang dilalui, ketika perempuan melakukan relasi interpersonal, dengan berpacaran, dia akan menemukan bahwa “oh saya ini perempuan yang sudah dewasa”, “oh saya punya desire yang seperti ini”, apabila tidak memiliki pengalaman seperti itu, dia tidak bisa mendefinisikan dirinya, pengalamannya itu menunjukkan pembentukan diri yang seperti apa.” Secara psikologis, Indigo berpendapat bahwa “pada dasarnya, sebagai makhluk sosial manusia memiliki kebutuhan atas relationship, dan manfaatnya sebagainya safety net yang perlu dipenuhi dalam kehidupan sosialnya.” Sedangkan secara biologis, Jennifer menjelaskan tentang kompleksitas relasi anak muda, yang berhubungan dengan resiko kesehatan reproduksi dari hubungan seksual, seperti IMS atau infeksi menular seksual.
Berhubungan dengan itu, problema terkait kerentanan atau resiko dari relasi anak muda, menurut Desintha, “relasi itu mempertemukan indivdu-individu dengan basic expreience, knowledge dan culture yang berbeda, orang berinteraksi dengan orang lain karena ada kepentingan, perilaku-perilaku sosial yang ditunjukan itu punya basis kepentingan, seperti relationship misalnya yang menjadi salah satu media, problemnya adalah, dalam prespektif gender, laki-laki dan perempuan memiliki relasi kuasa yang timpang, ada problem dominasi yang kemudian akan beresiko pada relasi-relasi yang tidak equal dan rentan.” Relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan menjadi bentuk resiko dan kerentanan dalam relasi anak muda, hal ini berkaitan dengan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi di Indonesia. Desintha menjelaskan bahwa edukasi seks di Indonesia itu beragam, sporadis, pendekatannya berbasis moral atau abstinens, dan terkait dengan tabu.

Terdapat gap yang belum cukup diartikulasikan, gap yang berbeda atas pemaknaan laki-laki dan perempuan tentang seks, akibat kontruksi sosial yang timpang antara laki-laki dan perempuan, kontruksi tabu tentang seks, dan pola pengasuhan keluarga. Selain itu, menurut Indigo terdapat beberapa faktor yang menjadi resiko dalam sebuah relasi interpersonal, seperti problem daddy/mommy issues sebagai impuls tidak sadar karena hubungan yang tidak sempurna dengan ayah atau ibu, self-esteem issues, yang merupakan rasa tidak percaya diri, atau tidak menganggap bahwa dirinya ‘cukup’. Hal ini dapat mempengaruhi relasi menjadi tidak sehat. Hubungan yang sehat, menurut Desintha, parameternya adalah tidak ada yang terintimidasi, karena dalam konteks berpacaran, dari perspektif gender dan seksualitas, itu membutuhkan pengetahuan, kesadaran dan juga kecakapan. Indigo menambahkan tentang hubungan yang sehat memerlukan kepercayaan, respek dan pengetahuan. Sementara Jennifer, turut melengkapi dengan memberikan pandangan bahwa dalam hubungan yang sehat, antara pasangan harus saling supportif, saling mengkomunikasikan, dan saling berkompromi.

News, News, Uncategorized, Uncategorized

YouSure UGM Raih Penghargaan Internasional

ICSB merupakan organisasi non-profit global yang berfokus kepada pemberdayaan UMKM.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta meraih penghargaan International Council for Small Business (ICSB) Presidential Award 2020. Diberikan atas aktivitas positif mendukung pengembangan UKM lewat Soprema.

Soprema sendiri merupakan rangkaian acara sociopreneur muda tingkat nasional yang diinisiasi YouSure Fisipol UGM bersama PT Visitama Tujuh Belas sejak 2016. Diadakan dalam rangka membina semangat sociopreneurship di Indonesia.

Sedangkan, ICSB merupakan organisasi non-profit global yang berfokus kepada pemberdayaan sektor UMKM. ICSB Indonesia aktif sejak 2015 di bawah inisiatif Kementerian Koperasi dan UKM bersama MarkPlus.

ICSB memberikan penghargaan sebagai apresiasi terhadap kinerja institusi yang berkontribusi terhadap pengembangan usaha milik pengusaha kecil dan menengah. Diberikan dalam setiap pelaksanaan Galang UKM Indonesia (GUKMI).

“Terima kasih kepada seluruh pihak yang selama ini membantu dan mendukung kegiatan Soprema dalam rangka mewujudkan pengembangan UMKM di Indonesia,” kata Direktur YouSure Fisipol UGM, Muhammad Najib Azca.

Direktur Pelaksana Soprema, Hempri Suyatna, menyampaikan apresiasi kepada ICSB dan MarkPlus atas penghargaan yang diberikan. Ia merasa, penghargaan ini menjadi semangat dan dukungan bagi Soprema mengajak sociopreneur muda.

“Agar dapat ikut andil mendorong kebangkitan ekonomi Indonesia, utamanya akibat krisis ekonomi pada masa pandemi Covid-19 ini,” ujar Hempri.

Ia menerangkan, Soprema bertujuan untuk memfasilitasi pemecahan masalah berbasis pemberdayaan sosial melalui kompetisi. Empat tahun terakhir, selain kompetisi juga ada expo dan seminar yang tiap tahun berpusat di Yogyakarta.

“Dengan motto Express Your Creative Passions, diharapkan Soprema mampu menyalurkan dan membina jiwa sociopreneurship pemuda di Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan bagi Indonesia,” katanya.

Hingga 2019, Soprema sukses menerima 2.211 peserta sociopreneur dan membantu mengembangkan 360 di antaranya, salah satunya Tenoon. Ini merupakan usaha sosial yang dibentuk atas kecintaan ke warisan budaya kain tenun Indonesia.

 

Sumber: Republika

Penghargaan dari ICSB kepada Youth Studies Centre dapat juga dibaca di

ugm.ac.id

senayanpost.com

jogja.tribunnews

 

 

News, News, Uncategorized, Uncategorized

Pandemi dan Toxic Relationship dalam Keluarga

Oleh: Arya Malik

 

Kondisi yang ditimbulkan oleh situasi pandemi, dapat dianggap menghantam masyarakat secara rata, tak terkecuali dalam lingkup-lingkup kecil layaknya rumah tangga dan keluarga. Situasi pandemi, yang mengharuskan segala aktivitas cenderung dilakukan di rumah, berpotensi menimbulkan toxic relationship dalam interaksi di dalam keluarga. kondisi keluarga di tengah pandemi COVID-19, yang beresiko terdampak perilaku toxic dari masing-masing anggota keluarga, dapat diminimalisir dengan berbagai alternatif serta upaya yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga.

Isna bersama suaminya Mufid, adalah salah satu keluarga muda. Isna beserta Mufid berbagai tentang bagaimana mereka merasakan perbedaan selama pandemi ini berlangsung. Mufid yang biasa bekerja di kantor, kini bekerja dari rumah (Work From Home), dan menjadi bertemu dengan Isna setiap saat. Dalam konteks relasi sebagai suami dan istri, mereka memanfaatkan kondisi tersebut dengan menanggapinya secara positif, seperti berpartisipasi pada program menggalang donasi, membaca buku, belajar hal-hal baru, melakukan aktivitas di rumah bersama-sama.

Isna dan Mufid mengaku bahwa sempat merasakan jenuh karena hal tersebut. Namun, mereka mencoba untuk mencari tahu faktor yang menimbulkan rasa bosan ini, Isna menceritakan sedikit bagaimana mereka bernegosiasi dengan keadaan

“kita analisis kenapa kita bosen, kita sempet bingung karena kita selalu ketemu, atau karena kita ga pernah ketemu orang lain karena ga keluar rumah. Nah kesimpulannya, mungkin dua hal itu yang bikin kita bosen. Kita sepakat untuk ambil space, karena di depan rumah kami ada masjid, suami pergi ke masjid dan saya di rumah. Paling sekitar dua atau tiga jam lah, dan itu udah lumayan ngasih jarak lah, dan pas suami balik ke rumah udah biasa lah, udah ga bosen juga..”.

Mengambil jarak, saling mengkomunikasikan keresahan, dan saling memberi pengertian, menjadi jalan keluar yang diambil oleh Isna dan Mufid.

Di samping itu, Ferdi Arifin, selaku ketua IMAOS.ID, menjelaskan tentang Toxic Relationship dalam keluarga ketika pandemi. Menurutnya, Toxic Relationship itu dapat terjadi di luar kondisi pandemi, seperti finansial planning yang tidak tepat, kurangnya keterbukaan dan komunikasi sehingga lebih mudah emosi dan kurang harmonis, serta kurang jelasnya pembagian antar anggota keluarga. Namun, memang dampaknya akan lebih terasa di saat pandemi berlangsung, terutama bagi keluarga yang sudah memiliki anak. Seperti aktivitas anak yang bersekolah dari rumah atau Study From Home, mungkin akan cukup merepotkan bagi orang tua yang sama-sama bekerja, dan karena pandemi juga harus bekerja dari rumah. Karena orang tua mau tidak mau harus mendampingi anak selama belajar di rumah. Ditambah dengan kenyataan, Work From Home sendiri, yang tidak berjalan dengan optimal. Menurut Ferdi, di saat pekerjaan seseorang itu terganggu, seperti masalah internet dan sebagainya, cenderung dapat meningkatkan tempramen, dan orang di sekitarnya sangat mungkin terdampak. Ferdi juga menambahkan,

“bekerja itu adalah salah satu bentuk Me Time bagi sebagian orang, dengan mengaktualisasikan diri lewat bekerja. Cuma, kalo misalkan bekerja di rumah dan ketemu dengan istri dan anak, lagi dan lagi, akan ada titik jenuh, dan kalo ke senggol dikit itu bisa meluap. Meskipun balik lagi ke karakter masing-masing orang”.

Selaras dengan Isna dan Mufid, menurut Ferdi alternatif untuk menghidnari Toxic Relationship, adalah meningkatkan komunikasi dalam hubungan rumah tangga, karena dapat membuka ruang untuk menyampaikan pikiran, mengungkapkan perasaan, dan menegosiasikan ego dan kepentingan masing-masing individu. Hal ini sangat diperlukan, karena keterbukaan adalah kunci dari keharmonisan dalam berumahtangga. Berbagi peranan untuk setiap anggota keluarga, dalam konteks berkomunikasi, sangat mungkin terjadi miskomunikasi pada prosesnya. Hal ini dapat diminimalisir dengan cara berkomunikasi secara baik dan bijak. Selain itu, penting untuk membentuk dan kemudian menghargai kesepakatan dari masing-masing anggota keluarga, sehingga proses negosasi, kompromi, dan toleransi, dapat berjalan baik dan menguatkan keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga.

Scroll to Top